MONITOR, Jakarta – Sejumlah dosen yang tergabung dalam Aliansi Akademisi Menolak Omnibus Law mengecam dan menentang imbauan Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Dirjen Dikti Kemendikbud), Nizam, yang melarang mahasiswa melakukan demonstrasi menolak UU Cipta Kerja (Ciptaker).
Hal itu disampaikan oleh Juru Bicara Aliansi Akademisi Menolak Omnibus Law, Abdil Mughis Mudhoffir, saat menanggapi Surat Imbauan Ditjen Dikti Kemendikbud Nomor: 1035/E/KM/2020 tertanggal 9 Oktober 2020 perihal Imbauan Pembelajaran secara Daring dan Sosialisasi UU Ciptaker.
Abdil yang juga dosen Universitas Negeri Jakarta (UNJ) itu mengungkapkan bahwa imbauan Dirjen Dikti Kemendikbud kepada civitas akademika untuk tidak ikut serta dalam aksi demonstrasi menolak UU Ciptaker adalah bentuk pembatasan terhadap kebebasan berpendapat dan kebebasan akademik yang dijamin oleh konstitusi serta bertentangan dengan Prinsip-Prinsip Surabaya untuk Kebebasan Akademik 2017, khususnya Prinsip 4.
“Insan akademis harus bebas dari pembatasan dan pendisiplinan dalam rangka mengembangkan budaya akademik yang bertanggungjawab dan memiliki integritas keilmuan untuk kemanusiaan, dan Prinsip 5, otoritas publik memiliki kewajiban untuk menghargai dan melindungi serta memastikan langkah-langkah untuk menjamin kebebasan akademik,” ungkapnya dalam keterangan tertulis, Jakarta, Sabtu (10/10/2020).
Secara institusional, menurut Abdil, perguruan tinggi memiliki otonomi dalam menjalankan fungsi tridarma perguruan tinggi dan karena itu seharusnya bebas dari segala bentuk intervensi politik. Dengan otonominya, tanggung jawab perguruan tinggi dalam memproduksi dan mendiseminasikan pengetahuan hanya kepada kebenaran, bukan pada penguasa.
Oleh karena itu, Abdil menegaskan, tidak seharusnya perguruan tinggi menggadaikan integritasnya sebagai lembaga pengetahuan dengan semata menjadi pelayan kepentingan politik penguasa. Terlebih, terbitnya UU Ciptaker serta paket UU bermasalah lainnya adalah petunjuk yang sangat gamblang bagaimana Pemerintah dan DPR RI yang beraliansi dengan pengusaha telah mengacaukan tatanan hukum dan ketatanegaraan yang merusak demokrasi di Indonesia.
“Respons terhadap kesewenangan penguasa melalui aksi demonstrasi adalah wujud komitmen terhadap kebenaran. Perguruan tinggi yang bertanggungjawab pada tegaknya kebenaran seharusnya menjadi institusi yang berdiri paling depan menentang segala bentuk kesewenangan penguasa. Bukan sebaliknya, sekadar membebek dan menjadi pelayan penguasa,” ujarnya.
Abdil mengingatkan, demonstrasi adalah tindakan yang konstitusional dan bagian dari cara dalam menyampaikan pendapat. Menurutnya, demonstrasi dilakukan terutama sebagai respons atas buntunya saluran kritik lainnya, baik yang telah disampaikan melalui kertas kebijakan, karya ilmiah maupun opini di media.
Abdil juga mengingatkan bahwa kajian akademik terhadap RUU Ciptaker juga telah dilakukan sejak pertama kali dicetuskan oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam pidatonya pada Oktober 2019 lalu. Abdil menyebutkan, banyak civitas akademika yang telah mengkritik pembahasan draf RUU Ciptaker yang sangat tertutup, tidak transparan dan rahasia yang bertentangan dengan asas pembentukan peraturan perundang-undangan.
“Kritik ini telah disampaikan baik melalui tulisan maupun diskusi di berbagai media massa. Kritik serupa baik terhadap proses perumusan dan penyusunan maupun terhadap substansinya juga telah banyak disuarakan oleh para akademisi maupun berbagai elemen masyarakat sipil lainnya. Bukannya mengakomodasi kritik dan masukan masyarakat akademik, Pemerintah dan DPR justru menganggap kritik sebagai hoaks,” katanya.
Pada kenyataannya, lanjut Abdil, Pemerintah dan DPR RI justru mengakui bahwa hingga kini tidak bisa menunjukkan draf final yang disahkan oleh DPR RI pada 5 Oktober 2020 lalu. Hal ini, menurut Abdil, menunjukkan bahwa justru pemerintahlah yang menyebarkan disinformasi dan hoaks mengenai UU Ciptaker.
“Tugas perguruan tinggi di antaranya memberikan pencerahan kepada masyarakat dengan melawan berbagai disinformasi yang diproduksi oleh penguasa yang sewenang-wenang serta para pendukungnya,” ungkapnya.
Kemudian, Abdil menyampaikan, imbauan kepada dosen untuk tidak memprovokasi mahasiswa melakukan demonstrasi menolak UU Ciptaker adalah bentuk intervensi politik terhadap independensi dosen sebagai akademisi yang hanya bertanggungjawab pada tegaknya kebenaran.
Selain itu, Abdil menilai, imbauan semacam ini juga cara yang merendahkan seolah mahasiswa tidak memiliki independensi dalam bersikap melihat ketidakadilan dan kesewenangan penguasa.
“Tanpa diprovokasi oleh dosen, mahasiswa telah menjadi aktor terdepan yang menyuarakan kebenaran bersama buruh, petani, nelayan, kaum miskin kota dan kelompok-kelompok sosial lainnya yang menjadi korban kesewenangan penguasa,” ujarnya.
Selanjutnya, Abdil mengatakan, imbauan kepada mahasiswa untuk tidak ikut berdemonstrasi karena alasan membahayakan keselamatan dan kesehatan di masa pandemi tidak sejalan dengan kengototan pemerintah untuk tetap menyelenggarakan pilkada serentak di berbagai daerah.
Abdil menilai, kampanye pilkada yang diselenggarakan secara berkerumun memiliki risiko yang besar memperburuk penyebaran wabah Covid-19 dengan hasil terpilihnya pemimpin yang cenderung tidak berkualitas. Terlebih, banyak calon kepala daerah yang juga bagian dari keluarga penguasa, termasuk anak dan menantu presiden.
“Demonstrasi menolak berlakunya UU Cipta Kerja memang memiliki risiko yang kurang lebih sama terkait penyebaran wabah, namun hal itu dilakukan untuk mencapai kemuliaan menentang kesewenangan penguasa dalam aliansinya dengan pengusaha yang telah membajak hukum dan demokrasi di Indonesia,” katanya.
Berdasarkan penilaian di atas, Juru Bicara Aliansi Akademisi Menolak Omnibus Law lainnya yakni Wendra Yunaldi, menyatakan bahwa pihaknya mendesak Dirjen Dikti Kemendikbud untuk tidak berupaya membungkam aspirasi civitas akademika dalam menyampaikan pendapatnya menolak berlakunya UU Ciptaker dengan mencabut surat imbauan kepada perguruan tinggi mengenai larangan demonstrasi tersebut.
“Demi tegaknya otonomi kampus dan integritas perguruan tinggi sebagai lembaga pengetahuan yang hanya mengabdi pada kebenaran, mendesak rektor seluruh Indonesia untuk menolak segala bentuk intervensi politik yang sekadar melayani kepentingan penguasa dengan menolak melaksanakan imbauan Dirjen Kemdikbud mengenai larangan demonstrasi menolak UU Cipta Kerja,” ungkapnya.
Dosen Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Sumatera Barat itu mengatakan, pihaknya juga mendorong perguruan tinggi seluruh Indonesia untuk mendukung aksi demonstrasi menentang kesewenangan penguasa yang beraliansi dengan pengusaha melalui pembentukan paket UU bermasalah, terutama UU Ciptaker.
“Mendorong insan akademik perguruan tinggi agar aktif mengkritisi dan membantah berbagai disinformasi yang disebarkan oleh berbagai pihak untuk mengelabuhi publik mengenai bahaya UU Cipta Kerja,” katanya.