Kamis, 28 Maret, 2024

Liput Demo Tolak Omnibus Law, Seorang Jurnalis Diseret dan Dipukuli

“Jurnalis kami, Peter Rotti, mengalami kekerasan dari aparat kepolisian saat meliput aksi unjuk rasa“

MONITOR, Jakarta – Pemimpin Redaksi (Pemred) Suara.com, Suwarjono, mengungkapkan bahwa salah satu jurnalis atau wartawannya mengalami kekerasan dan intimidasi dari aparat kepolisian saat meliput aksi unjuk rasa penolakan UU Omnibus Law Cipta Kerja (Ciptaker) di kawasan Jalan MH Thamrin, Jakarta Pusat, Kamis (8/10/2020).

“Jurnalis kami, Peter Rotti, mengalami kekerasan dari aparat kepolisian saat meliput aksi unjuk rasa penolakan Omnibus Law Undang-Undang Cipta Kerja di kawasan Jalan MH Thamrin, Jakarta Pusat, Kamis (8/10/2020),” ungkapnya dalam keterangan resmi, Jakarta, Kamis (8/10/2020).

Menurut Suwarjono, peristiwa itu terjadi sekitar pukul 18.00 WIB saat Peter sedang merekam aksi sejumlah oknum aparat kepolisian yang mengeroyok seorang peserta aksi di sekitar halte Transjakarta Bank Indonesia.

“Ketika itu Peter berdua dengan rekannya, yang juga videografer, yakni Adit Rianto S, melakukan live report via akun YouTube peristiwa aksi unjuk rasa penolakan Omnibus Law,” ujarnya.

- Advertisement -

Suwarjono mengatakan, melihat Peter merekam sejumlah oknum polisi menganiaya peserta aksi dari kalangan mahasiswa itu, tiba-tiba seseorang yang diduga aparat berpakaian sipil serba hitam menghampirinya.

“Kemudian disusul enam orang polisi yang belakangan diketahui Anggota Brimob. Para polisi itu meminta kamera Peter, namun ia menolak sambil menjelaskan bahwa dirinya jurnalis yang sedang meliput,” katanya.

Namun, lanjut Suwarjono, para oknum polisi itu memaksa dan merampas kamera Peter. Suwarjono menyampaikan bahwa salah seorang dari oknum polisi itu sempat meminta memori kamera, namun Peter menolak dan menawarkan akan menghapus video aksi kekerasan oknum aparat polisi terhadap seorang peserta aksi itu.

“Para polisi bersikukuh dan merampas kamera jurnalis video Suara.com tersebut. Peter pun diseret sambil dipukul dan ditendang oleh segerombolan polisi tersebut,” ungkapnya.

“Saya sudah jelaskan kalau saya wartawan, tetapi mereka (polisi) tetap merampas dan menyeret saya. Tadi saya sempat diseret dan digebukin, tangan dan pelipis saya memar,” ujar Peter melalui sambungan telepon.

Setelah merampas kamera, Peter mengatakan, memori yang berisi rekaman video liputan aksi unjuk rasa mahasiswa dan pelajar di sekitar Patung Kuda, kawasan Monas, Jakarta Pusat, itu diambil sejumlah oknum polisi. Namun kameranya dikembalikan kepada Peter.

“Kamera saya akhirnya dikembalikan, tetapi memorinya diambil sama mereka,” katanya.

Saat ini, Suwarjono menyebutkan, Peter dalam kondisi memar di bagian muka dan tangannya akibat penganiayaan oknum aparat kepolisian tersebut.

“Saya selaku Pemred Suara.com mengecam aksi penganiayaan terhadap jurnalis kami, maupun jurnalis media-media lain yang mengalami aksi serupa. Sebab, jurnalis dalam melakukan tugas-tugas jurnalistik selalu dilindungi oleh perundang-undangan,” ungkapnya.

“Saya juga mendesak aparat kepolisian untuk mengusut tuntas hal ini,” ujar Suwarjono menambahkan.

Hingga berita ini diterbitkan, belum ada konfirmasi resmi dari pihak aparat kepolisian mengenai kejadian tersebut.

Sekadar informasi, sebelumnya sudah ada Nota Kesepahaman antara Dewan Pers dengan Polri dengan Nomor 2/DP/MoU/II/2017. Pada pasal 4 ayat 1 Nota Kesepahaman tersebut menyebutkan bahwa para pihak berkoordinasi terkait perlindungan kemerdekaan pers dalam pelaksanaan tugas di bidang pers sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Kemudian Pasal 8 UU Pers menyatakan bahwa dalam menjalankan profesinya, jurnalis mendapat perlindungan hukum. Merujuk pada KUHP dan Pasal 18 UU Pers, pelaku kekerasan terhadap jurnalis terancam hukuman dua tahun penjara atau denda Rp500 juta.

- Advertisement -

BERITA TERKAIT

TERPOPULER