MONITOR, Jakarta – Tentara Nasional Indonesia (TNI) hari ini 5 Oktober 2020 genap berusia 75 tahun. Dengan segala tantangannya yang ada saat ini, TNI dibawah kepemimpinan Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahyanto senantiasa menjadikan persatuan dan kesatuan sebagai prasyarat utama dalam mencapai tujuan nasional menyatukan kekuatan dari berbagai sisi menjadi sinergi (synchronized energy).
“Dengan sinergi, akan memungkingkinkan kita mengolah potensi-potensi unggulan lain yang kita miliki. Termasuk dalam konteks kekinian dalam menghadapi pandemi yakni mensinergikan antara kesehatan dan keamanan nasional,” demikian disampaikan oleh Pengamat Intelijen, Pertahanan dan Keamanan yang juga Direktur Eksekutif Center of Intelegent and Strategic Studies (CISS), Ngasiman Djoyonegoro dalam keterangan tertulisnya, Senin (5/10/2020).
Mengutip pernyataan Panglima Besar TNI Jenderal Soedirman, ‘Tentara hanya mempunyai satu kewajiban, ialah menjaga kedaulatan dan keselamatan negara’, pria yang akrab disapa Simon itu mengungkapkan bahwa kalimat di atas disampaikan Jenderal Besar Soedirman pada 1 Januari 1946 itu sampai hari ini, kewajiban tersebut belum berubah, bahkan semakin kukuh dalam Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI).
“Tantangan terhadap kedaulatan dan keselamatan negara akan selalu hadir dari waktu ke waktu dalam aneka bentuknya. Dalam konteks kekinian, tantangan tersebut bukan lagi sekadar dari serangan fisik negara lain seperti halnya yang kerap dipahami dalam konteks perang semesta,” tegasnya.
Dalam konteks kekinian menghadapi pandemi covid-19, Simon sebagaimana dalam bukunya yang berjudul “Perang Global Melawan Corona” menyatakan soal perlunya dikembangkan biodefense yang lebih kekinian dan inovatif. Ini penting untuk mengantisipasi segala kemungkinan ancaman-ancaman di masa mendatang yang lebih rumit, modern dan tak terdeteksi.
“Juga soal upaya membentuk kerjasama sipil militer untuk biodefense. Ini penting sebagai upaya mewujudkan apa yang disebut pertahanan semesta, yakni seluruh elemen bangsa bersatu padu perang melawan musuh negara, apapun itu bentuk musuhnya,” terangnya.
Sebagaimana diketahui, pandemi covid-19 kini telah menyerang 188 negara berdasarkan data John Hopkins University & Medicine per 3 Oktober 2020. Total masyarakat yang terinfeksi mencapai 34 juta orang dengan lebih dari satu juta lainnya meninggal dunia. “Hal ini telah menciptakan bencana kemanusiaan sekaligus ekonomi, dan potensi ke arah gejolak keamanan pun mulai terlihat,” kata Penulis Buku “Sinergitas TNI-Polri” itu.
Tantangan di Era Pandemi
Persebaran Covid-19 telah membuat sejumlah negara melakukan pembatasan pergerakan masyarakat. Hal itu dilakukan lantaran dianggap sebagai cara paling efektif untuk memutus penularan Covid-19 selama vaksin dan obatnya belum ditemukan. “Namun, kebijakan ini memiliki efek samping yang memukul perekonomian dan meningkatkan ketegangan keamanan,” ujar Simon.
Simon menyebut kebijakan pembatasan pergerakan membuat arus pasok global terkunci. Akibatnya, pertukaran barang, modal dan jasa antar negara terganggu, sedangkan globalisasi yang terbentuk sejak setelah Perang Dunia II telah membuat antar negara saling ketergantungan satu sama lain dan nyaris tak ada yang bisa memenuhi kebutuhannya sendiri.
Namun dalam kondisi seperti saat ini, menurut Simon, negara terpaksa menjadi yang dalam paradigma realisme klasik sebagai black box atau kotak hitam yang lebih egois. Upaya pemenuhan kebutuhan nasional lebih diutamakan ketimbang memasok untuk negara lain.
“Ketegangan pun tak terelakkan. Seperti halnya yang terlihat dari semakin bereskalasinya perang dagang antara Tiongkok dan Amerika Serikat (AS),” ungkapnya.
Simon menjelaskan, kesehatan dan ekonomi merupakan unsur penting dalam kesejahteraan, tujuan utama yang ingin dicapai seluruh negara. Dalam mencapainya, negara mesti memiliki daya tawar atau bargaining power yang kuat agar tak mudah dikerdilkan negara lain.
“Militer adalah daya tawar terkuat untuk itu. Semakin kuat militer suatu negara, maka semakin berdaulat pula di mata negara lainnya. Di sinilah maksud tujuan pertunjukan kekuatan AS dan Tiongkok,” ujarnya.
Mengutip pernyataan salah satu Profesor Ekonomi dari New York University Nouriel Roubini yang menilai bahwa perkembangan kedua negara tersebut bisa mengarahkan dunia kepada deglobalisasi. Meningkatkan ketegangan di antara negara-negara dunia, Simon menyebut Perang Dingin baru sangat mungkin tercipta.
Dalam kondisi tersebut, menurut Simon, negara yang selamat adalah yang mampu memenuhi kebutuhannya. Jika tidak, mau tidak mau ia harus mengekor kepada salah satu dari kedua blok tersebut. Indonesia yang memegang azas bebas aktif dalam hubungan internasional, mau tidak mau harus menjadi mandiri untuk tetap dapat berlaku demikian.
Selain itu, lanjut Simon, kondisi ekonomi saat ini juga berpotensi menciptakan ketegangan di dalam negeri. Hal ini lantaran semakin banyak rakyat yang jatuh miskin akibat peningkatan pengangguran.
“AS bisa menjadi contoh nyata yang telah terjadi. Pengangguran yang lebih tinggi ketimbang era depresi ekonomi 1930-an, telah turut menyulut amarah massa yang turun ke jalan dalam aksi Black lives Matter beberapa waktu lalu,” ungkapnya.
Sinergi Kesehatan dan Keamanan
Simon pun mengaku sepakat dengan pendapat Ekonom Senior Faisal Basri yang menyatakan bahwa pangkal utama dari permasalahan kali ini adalah kesehatan. Oleh karena itu, masalah ini harus diselesaikan agar tak menjadi bola salju dan meperburuk keadaan nasional ke depannya.
“Di sinilah peran militer atau TNI untuk turut menyelesaikannya. TNI telah mendapat mandat untuk dapat melaksanakan Operasi Militer Selain Perang (OMSP) dalam UU TNI. Wujudnya bisa dengan mengsinergiskan kesehatan dan keamanan melalui pengembangan teknologi,” ungkapnya.
Selama ini, menurut Simon, Indonesia telah mampu mengembangkan teknologi persenjataan dalam negeri melalui PT Pindad. Hal Ini bisa dikembangkan ke arah teknologi kesehatan. Mengingat, kebutuhan peralatan kesehatan menjadi keniscayaan di tengah pandemi yang belum tahu kapan akan berakhir ini.
“Terlebih, faktanya saat ini masih banyak rumah sakit dan fasilitas kesehatan lain yang kekurarangan alat kesehatan. Misalnya ventilator yang sangat dibutuhkan untuk penanganan Covid-19. Data Gugus Tugas Penanganan Covid-19 per April 2020, Indonesia membutuhkan 29,9 ribu unit alat ini. Namun, ketersediaannya hanya 8,4 ribu,” katanya.
Simon menyampaikan, maka tak heran jika rasio kematian Covid-19 secara nasional masih di angka 5 persen atau tepat di ambang batas minimal Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Angka itu bisa lebih ditekan jika Indonesia memiliki kesiapan dalam teknologi kesehatan. Sementara, bergantung kepada negara lain adalah hal yang mustahil di kondisi global seperti sekarang.
“Saya kira, dalam mengilhami kembali pernyataan Jenderal Besar Soedirman, TNI mestilah menjadi aktor yang mensinergiskan upaya pengentasan masalah kesehatan demi terus menopang stabilitas keamanan nasional. 75 tahun sudah institusi ini berdiri dan saya kira sudah lebih cukup dari mampu untuk melakukannya. Tinggal kemudian pertanyaannya adalah ‘adakah keinginan untuk itu dan mungkinkah negara menyadarinya?’,” ujarnya.
Gatra Ketahanan Nasional
Dengan kompleksitas ancaman dan tantangan tersebut, menurut Simon masa depan Indonesia harus dipersiapkan secara terencana sejak dini. Kekuatan nasional yang diwujudkan dalam gatra ketahanan nasional yang mencakup kondisi alamiah dan kondisi Ipoleksosbudhankam harus mampu dioptimalkan kondisinya sehingga kemampuan bangsa dalam menghadapi setiap bentuk ancaman baik militer dan non militer dapat diwujudkan.
“Dengan demikian maka paradigma Indonesia di masa depan tidak dapat dipisahkan dari peranan setiap gatra ketahanan nasional ini. Gatra alamiah yang terdiri atas wilayah, penduduk dan sumber daya alam dan gatra non alamiah yaitu ideologi, politik, sosial budaya dan Hankam,” jelasnya.
“Kekuatan dan kemampuan pertahanan-keamanan yang efektif dan efisien untuk mengamankan seluruh wilayah kedaulatan NKRI, terpadu, modern dan memiliki daya penggentar tinggi, berbasis jaringan dan artificial intelijen, mengembangkan dimensi perang ruang angkasa, yang dibangun dan dikembangkan secara mandiri dengan memanfaatkan potensi kemandirian riset dan industri pertahanan,” ungkap Simon.
Simon menegaskan bahwa visi tahun 2045 harus menjadi tantangan bersama untuk membangun komitmen guna menyiapkan SDM yang unggul. “Semua visi itu terwujud dalam ikatan kuat nasionalisme kebangsaan Indonesia yang menjamin eksistensinya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dirgahayu TNI ke-75, Sinergi untuk Negeri,” pungkasnya.