MONITOR, Jakarta – Kebijakan Direksi PT Asuransi Jiwasraya periode 2008-2018 yang sesuai batasan tertentu disebut dilindungi dengan konsep atau prinsip Bussiness Judgment Rules (BJR) yang diadopsi oleh Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.
Hal itu ditegaskan dalam nota pembelaan atau pledoi dari Syahmirwan, salah satu terdakwa dalam perkara dugaan korupsi di Jiwasraya. Pledoi itu dibacakan dalam lanjutan persidangan perkara Pidana No.: 33/Pid.Sus-TPK/2020/PN.Jkt.Pst., di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus), Selasa (29/9/2020) malam.
Pasalnya, para direksi yang menjadi tersangka dalam kasus ini, yakni Hendrisman Rahim dan Hary Prasetyo ditunjuk menjabat di Asuransi Jiwasraya pada 2008. Saat itu, jelas Syahmirwan, gap antara aset dan kewajiban perusahaan asuransi jiwa milik negara itu tercatat negatif Rp6,7 triliun.
“Bahwa tindakan Direksi Hendrisman Rahim dan Harry Prasetyo selama melakukan pengurusan perseroan tujuan utamanya adalah untuk kepentingan perusahaan yang sedang mengalami kondisi insolvent sebesar minus Rp6.700.000.000.000,” demikian ungkap Syahmirwan dalam pledoi yang dibacakan dalam persidangan.
Dalam rangka upaya penyehatan Asuransi Jiwasraya, lanjut isi pledoi Syahmirwan itu, maka pemegang saham telah mematok target investasi yang tinggi di dalam Rencana Kerja Anggaran Perusahaan (RKAP). Oleh karena itu, guna memenuhi adanya tuntutan dari pemegang saham, maka direksi memerlukan upaya yang sifatnya agresif dalam melakukan penempatan investasi.
Para direksi melalui Kepala Divisi Investasi Jiwasraya, dalam hal ini Syahmirwan, kemudian mengambil kebijakan investasi lantaran pendapatan utama perseroan bersumber dari pengelolaan investasi, selain dari pembayaran premi.
Kebijakan investasi, dalam pledoi Syahmirwan, dilakukan secara hati-hati (prudence) karena kebijakan tersebut selalu mengacu pada RKAP yang disusun direksi, komisaris dan ditetapkan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS).
“Bahwa dengan telah diterimanya Laporan Tahunan sejak tahun 2008-2016 oleh RUPS dan telah dinyatakan Release and Discharge, artinya tindakan direksi tersebut sebagai bukti bahwa direksi dalam melakukan pengurusan perseroan telah sesuai dengan maksud dan tujuan perusahaan sesuai dengan anggaran dasar, sehingga seorang direksi yang telah menerima Release and Discharge dari RUPS harus dilindungi sebagaimana yang dimaksud di dalam pasal 97 ayat (5) UUPT melalui prinsip Bussiness Judgement Rules,” demikian lanjutan pledoi Syahmirwan yang dibacakan.
Kemudian, Syahmirwan dalam pledoinya juga menyebutkan bahwa selama masa kepengurusannya, direksi telah melakukan pengurusan dengan mengutamakan prinsip Good Corporate Governance (GCG). Hal itu terlihat pada kebijakan investasi yang diambil oleh direksi telah sesuai dengan ketentuan perundang-undangan maupun Pedoman Investasi Internal Jiwasraya.
Bahkan di dalam laporan tahunannya, Manajemen Jiwasraya juga selalu mendapatkan predikat yang baik dalam penerapan GCG, maka direksi telah melakukan pengurusan dengan itikad baik, hati-hati dan tidak ada konflik kepentingan.
“Oleh karena itu, ketika perusahan mengalami kerugian, maka kerugian tersebut menjadi tanggung jawab dari perusahaan,” ungkap Syahmirwan dalam pledoinya.
Keterangan Saksi Ahli
Syahmirwan menyebut bahwa fakta itu dikuatkan dengan alat bukti keterangan saksi yang saling bersesuaian satu sama lain. Misalnya pendapat Irvan Rahardjo, seorang pakar asuransi yang sempat dihadirkan dalam persidangan yang menguatkan fakta itu.
“Bahwa jika sebuah perusahaan asuransi yang dalam kondisi rugi dan adanya tuntutan return yang tinggi dari pemegang saham, dan telah dituangkan di dalam RKAP yang telah disetujui oleh pemegang saham, dan jika direksi yang menjalankan kebijakan investasinya sesuai dengan RKAP maka tindakan direksi tersebut dapat dikatakan telah memenuhi Bussiness Judgment Rules,” ujar Syahmirwan dalam pledoi tersebut.
Dalam nota pembelaan itu, Syahmirwan juga menyebut pendapat Ahli Hukum Perbankan Nindyo Pramono yang menyatakan, jika direksi mengelola perusahaan sesuai dengan aturan main yang ada, tidak melanggar anggaran dasar dan ketentuan undang-undang, maka dapat dikatakan bahwa direksi telah menjalankan tata kelola perusahaan yang baik dan dapat dilindungi dengan BJR.
Prinsip itu memberikan perlindungan hukum bagi direksi dan jajarannya dari pertanggungjawaban atas setiap kebijakan atau keputusan bisnis atau transaksi bisnis yang dibuat yang mengakibatkan kerugian perusahaan.
“Tetapi prinsipnya selama kebijakan atau keputusan atas transaksi bisnis tersebut dilakukan dengan itikad baik, penuh kehati-hatian, dengan bertanggungjawab sejalan dengan wewenang yang ada,” kata Syahmirwan mengutip keterangan ahli dalam pledoinya.