MONITOR, Jakarta – Terdakwa kasus suap dan gratifikasi, Pinangki Sirna Malasari, menegaskan tidak pernah menyebut nama Jaksa Agung (JA) ST Burhanudin dan mantan Ketua Mahkamah Agung (MA) Hatta Ali yang belakangan dikaitkan dengan permasalahan hukum yang tengah dihadapinya.
Hal itu terungkap dalam nota keberatan atau eksepsi Pinangki yang dibacakan kuasa hukumnya dalam persidangan terhadap Surat Dakwaan Penuntut Umum dalam Perkara Pidana No. 38/Pid.Sus-TPK/2020/PN.JKT.PST di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus), Rabu (30/9/2020).
“Perihal nama Bapak Hatta Ali dan Bapak ST Burhanudin yang ikut dikait-kaitkan namanya belakangan ini dalam permasalahan hukum terdakwa, sama sekali tidak ada hubungannya dan terdakwa tidak pernah menyebut nama beliau, dalam proses penyidikan dan penuntutan perkara Terdakwa,” ungkap Pinangki dalam eksepsi yang dibacakan kuasa hukumnya.
Dalam eksepsi itu, Pinangki pun menegaskan tidak ada hubungan dengan dua sosok tersebut. Pinangki hanya mengetahui Hatta Ali sebagai mantan Ketua MA dan tidak mengenal secara personal dan tidak pernah berkomunikasi dengan Hatta Ali.
Pinangki pun hanya mengetahui ST Burhanudin sebagai atasannya atau Jaksa Agung di institusi tempatnya bekerja. “Namun tidak kenal dan tidak pernah berkomunikasi dengan beliau,” ujar tim kuasa hukum Pinangki.
Nota keberatannya itu menyoroti berbagai pemberitaan dan surat dakwaan yang dibacakan oleh Penuntut Umum, khususnya terkait banyaknya pihak yang seakan-akan terseret dalam kasus ini.
Pinangki, dalam eksepsi itu, juga menegaskan bahwa penyebutan nama-nama tersebut bukan didasarkan oleh pernyataannya.
“Dapat kami sampaikan dalam momen ini, penyebutan nama pihak-pihak tersebut bukanlah atas pernyataan terdakwa dalam proses penyidikan, namun karena ada orang-orang yang sengaja mau mempersalahkan terdakwa, seolah-olah terdakwalah yang telah menyebut nama pihak-pihak tersebut. Terdakwa sejak awal dalam penyidikan menyampaikan tidak mau menimbulkan fitnah bagi pihak-pihak yang namanya selalu dikait-kaitkan dengan terdakwa,” kata kuasa hukum Pinangki.
Kuasa hukum Pinangki menyebut bahwa terdakwa melihat ada pihak-pihak yang sengaja menggunakan kasus ini untuk kepentingan tertentu, khususnya kepada nama-nama yang disebutkan dalam action plan atau rencana aksi. Terdakwa pun khawatir perkara yang membelitnya ini dijadikan alat untuk menjatuhkan kredibilitas pihak-pihak lain.
Tidak Membuat Rencana Aksi
Pinangki didakwa dengan tindakan pemufakatan jahat sebagaimana termuat dalam Pasal 15 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tipikor. Dalam eksepsinya, Pinangki menyebut bahwa dakwaan itu sangat dipaksakan baik oleh para penuntut umum dan penyidik saat proses penyidikan.
Pasalnya, seandainya pun benar terdakwa memang membantu Djoko Sugiarto Tjandra untuk mengurus Fatwa MA sehubungan dengan Putusan Peninjauan Kembali (PK) Nomor 12 Tahun 2009 agar Djoko Tjandra tidak dapat dieksekusi, secara fakta tuduhan itu tidak jadi dilaksanakan.
“Karena Djoko Sugiarto Tjandra telah menyatakan action plan proses fatwa tersebut tidak masuk akal dan memilih untuk menempuh jalur Pengajuan Peninjauan Kembali melalui pengacara Anita Kolopaking,” demikian lanjutan eksepsi yang dibacakan di ruang persidangan.
Seperti diketahui, dalam pemufakatan jahat yang dituduhkan kepada Pinangki terdapat rencana aksi yang di dalamnya terdapat kode nama-nama orang lain yang diisukan ‘dijual’ olehnya.
Padahal faktanya, lanjut kuasa hukum yang membacakan eksepsi itu, terdakwa bukanlah yang membuat rencana aksi itu, apalagi menyebutkan nama-nama di dalamnya.
“Sejak awal pemeriksaan di penyidikan terdakwa tidak mau berspekulasi dengan nama-nama yang ada dalam action plan karena memang tidak tahu dari mana asal action plan tersebut apalagi isi di dalamnya. Sehingga menjadi pertanyaan besar kenapa Terdakwa masih didakwa dengan suatu hal yang nyata-nyatanya tidak terjadi,” demikian sambungan isi eksepsi Pinangki.