MONITOR, Jakarta – Tren pasangan calon (paslon) tunggal di pemilihan kepala daerah (pilkada) disebut terus meningkat dari tahun ke tahun.
“Dalam perkembangan Pilkada 2015-2018, angkanya mengalami kenaikan,” ungkap anggota Bawaslu RI, Ratna Dewi Pettalolo, dalam diskusi publik virtual LHKP Muhammdiyah bertema ‘Oligarki Parpol dan Fenomena Calon Tunggal’, Jakarta, Rabu (9/9/2020).
Pada Pilkada 2015 lalu, Dewi menyebutkan, hanya ada tiga daerah yang calonnya tunggal, yakni di Kabupaten Blitar, Tasikmalaya dan Timor Tengah Utara.
Sedangkan di Pilkada 2017, Dewi mengatakan, jumlahnya pilkada dengan paslon tunggal bertambah menjadi sembilan daerah, dan pada Pilkada 2018 ada 16 paslon tunggal.
“Untuk 2020 ini, ada 28 potensi pasangan calon tunggal. Karena saat ini sedang dalam proses pembukaan kembali tahapan pencalonan sebagaimana ketentuan KPU,” katanya.
Menurut Dewi, setidaknya ada tiga penyebab munculnya paslon tunggal pada pilkada, yakni pertama karena ‘candidate oriented’, yakni berorientasi pada ketokohan seseorang, bukan gagasan.
Kedua, lanjut Dewi, partai politik (parpol) yang elitis karena parpol cenderung dibangun dari elite atau kalangan atas, bukan dari ‘grassroot’ atau masyarakat bawah.
Ketiga, Dewi menyebutkan, besarnya peluang kemenangan paslon tunggal pada kontestasi pilkada sebagaimana realita yang terjadi pada tahun-tahun sebelumnya.
Dari 28 pasangan calon tunggal yang mengikuti pilkada pada 2015, 2016 dan 2018, Dewi menyampaikan, hanya satu calon yang gagal, yakni di Makassar pada Pilkada 2018.
“Faktanya, berhadapan dengan kotak kosong peluang kemenangannya sangat besar,” ujarnya.