MONITOR, Jakarta – Mantan Direktur Keuangan PT Asuransi Jiwasraya, Harry Prasetio, mengaku heran bekas kantornya itu mengalami gagal bayar pada 2018 lalu lantaran kondisi keuangan perseroan sampai akhir 2017 masih sangat baik.
Hal itu ditegaskan Harry ketika bersaksi dalam dalam lanjutan persidangan perkara Pidana No.: 33/Pid.Sus-TPK/2020/PN.Jkt.Pst., Jakarta, Kamis (3/9/2020).
“Tidak boleh ada terjadi gagal bayar itu kalau tadi tanggung jawab semua ada di JS (Asuransi Jiwasraya). JS harus bertanggungjawab kenapa gagal bayar. Itu aneh pak,” ungkapnya ketika menjawab pertanyaan Jaksa Penuntut Umum (JPU) dalam persidangan.
Pada akhir 2017, Harry menyebutkan, nilai aset perseroan mencapai Rp45 triliun dengan nominal kas mencapai Rp4 triliun. Tingkat solvabilitas atau Risk Based Capital (RBC) bahkan mencapai 200 persen.
Kondisi itu jauh berbeda dengan kinerja perseroan pada 2008 atau ketika Harry Prasetyo pertama kali bergabung dengan asuransi jiwa pelat merah tersebut. Kala itu, neraca keuangan perseroan tercatat minus Rp6,7 triliun atau dalam kondisi insolvensi dengan nilai aset sekitar Rp5 triliun.
Perseroan bahkan tak memiliki kas dan RBC minus ratusan persen. Seperti diketahui, batas minimum RBC perusahaan asuransi jiwa dan asuransi umum yang dipersyaratkan regulator adalah sebesar 120 persen.
Harry mengaku, selama masuk jajaran direksi, Asuransi Jiwasraya tidak mengalami masalah investasi. Semua tata kelola perusahaan, menurut Harry, sudah tertata dengan baik.
“Itu suatu prestasi bahwa kami menghidupkan kembali mayat hidup yang sudah takkan mungkin kembali hidup. (Kinerja) Kami di bawah Prudential (PT Prudential Life Assurance) kalau boleh nyebut. Sudah nomor dua, tapi gagal bayar di bulan Oktober. Itu aneh pak. (Gagal bayar) bukan karena investasi, karena operasional. Lebih kepada operasional,” ujarnya.
Pada Januari 2018, Harry mengatakan bahwa laba perseroan berdasarkan laporan keuangan mencapai Rp2,4 triliun. Namun, menurut Harry, laporan itu dikoreksi oleh PricewaterhouseCoopers (PwC), perusahaan jasa akuntan publik dan audit.
Oleh karena itu, Harry menilai, seharusnya auditor tersebut juga dihadirkan dalam persidangan untuk mengetahui lebih jauh .
“Saya juga menyayangkan kenapa saksi PricewaterhouseCoopers yang mengkoreksi angka cadangan ketika itu tidak dihadirkan dalam persidangan. Itu yang disayangkan. Karena itu bisa membuka yang sebenarnya benar atau tidak yang saya sampaikan ini, bahwa per posisi 2017. Dan mereka, PwC juga mengaudit buku 2016,” katanya.
Harry menambahkan bahwa sebenarnya pihaknya masih memiliki rencana jangka panjang hingga tujuh tahun lagi ketika diganti sebagai Direksi Asuransi Jiwasraya. Hal itu merupakan bagian dari program jangka panjang perseroan sejak 2008 atau ketika mengalami insolvensi.
“Itu masih ada tujuh tahun sisa menyiapkan JS menjadi sempurna lagi. Tujuh tahun lagi sejak tahun 2018,” ungkapnya.