MONITOR, Jakarta – Semua manusia pasti ingin dirinya bermanfaat bagi orang banyak. Keinginan untuk bisa berkontribusi demi kemajuan masyarakat ini, menjadi cita-cita Dzurrotun Ghola. Bertugas sebagai Penyuluh Agama Islam (PAI) Kementerian Agama RI, ibu 42 tahun itu sengaja blusukan mencari orang yang membutuhkan keahliannya sebagai sebagai penyuluh di bidang agama.
Tahun 2009 menjadi awal wanita kelahiran Jakarta 8 Agustus 1978 berdakwah di dunia hitam. Dunia yang dianggap kotor oleh sebagian masyarakat, bahkan tak jarang pelakunya disebut ‘sampah’. Perang hati yang dialaminya sebagai penyuluh berawal saat ia bertugas di Majelis Taklim. Di sana, dirinya merasa kurang bermanfaat. Karena cuma duduk dan menjadi pendengar. Tidak ada aksi nyata sebagaimana penyuluh sebenarnya.
“Padahal setiap penyuluh, mendapatkan fee, uang makan, tunjangan kinerja dan dana pensiun. Tapi disana saya hanya menjadi mustami (pendegar) saja, ga turun ke lapangan,” katanya.
Hasil kerjasama dengan Penyuluh Agama Islam non PNS, sebuah tempat yang orang sebut ‘sarang penyamun’ di daerah Taman Sari menjadi tempat pertama mengabdi. Para wanita pemuas nafsu lelaki hidung belang menjadi murid yang diajar Ghola. Setiap siang, para wanita dengan pakaian seadanya, kadang sambil mengisap rokok, terbata-bata mengeja huruf hijaiah. Selain mengaji mereka juga belajar salat. Mereka tidak mau anaknya tidak bisa mengaji dan salat seperti dirinya serta ikut terjerumus di dunia malam.
Kenangan di Taman Sari masih tersimpan rapi di pikiran Ghola. Sebab dari wanita yang dianggap kotor tersebut, ia tau bahwa PNS di mata mereka dianggap tidak peduli terhadap sesama.
“Saat itu salah satu dari mereka mengatakan gini, oh ada ya PNS yang peduli sama kita. Biasanya PNS selalu nangkepin kita,” kenangnya.
Sayang, jalan dakwahnya di ‘sarang penyamun’ harus selesai tiga tahun, lantaran sebagai istri dia tetap harus berbakti dan ikut pindah bersama suami.
Wanita lulusan S2 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini pun kembali memulai bimbingan rohaninya sebagai ‘ibu’ bagi kaum marjinal. Panti Jompo Tresna Werdha menjadi ‘kendaraan’ berikutnya untuk berdakwah.
Tahun 2013 petualangan berikutnya dimulai, setiap target dakwah memiliki cara berbeda dalam menanganinya. Kakek dan nenek mantan gembel dan pengemis penghuni panti jompo lebih berat untuk diajak mengaji.
“Saat diajak mengaji, mereka menolak. Maunya makan dan rokok. Karena laper,” kenangnya.
Tantangan dakwah tak menggentarkan hati Ghola. Karena Gepeng lebih mementingkan perutnya, dirinya pun rela merogoh koceknya sendiri untuk memancing mereka mau mengaji dengan membawa makanan.
Saat itu, setiap pekan, beragam penjaja makanan disiapkan Ghola. Sekitar Rp700 ribu-Rp1 juta disiapkan untuk menghadirkan penjual somay, bakso, ketoprak dll per pekannya.
Dia beranggapan, untuk mengajak orang menjadi benar, kita harus masuk ke dunia mereka. Kalau udah masuk baru dapat ditarik. Ghola pun tak mau ladang kebaikan ini dimakan sendiri, dia pun mulai mengajak rekan sejawatnya dengan undangan via pesan singkat melalui foto-foto kegiatan dan kalimat ajakan kebaikan. Alhamdulillah ajakan tersebut disambut manis. Berkat perjuangannya, jadwal makanan selama setahun ke depan sudah terjadwal.
Tahun 2014 penyuluh Kemenag mulai menjalin kerjasama dengan Rumah Sakit Fatmawati dengan membuat program Bimbingan Rohani (bimroh) setiap Selasa dan Kamis. Hasil bimroh di RS. Fatmawati telah membuat seorang mantan wanita penjaja seks kembali menemukan jalan pulang menuju Sang Pencipta dengan mengabdi di pesantren.
Setiap pagi, selepas absen dan salat dhuha, Ghola kembali blusukan ke sejumlah PAUD untuk mengajar ngaji ibu-ibu muda yang menunggu anak-anaknya sekolah. Apapun tempatnya digunakan untuk kegiatan belajar mengajar. Kadang di parkiran motor, teras depan sekolah dll. Selain belajar mengaji, Ghola menerapkan tugas utama BP4. Menjemput bola, memberikan bimbingan keluarga langsung. Karena umur ibu-ibu muda tersebut sebenarnya membutuhkan bimbingan keluarga, agar terhindar dari perceraian.
Ghola berharap ke depannya dia dapat menjangkau golongan remaja atau anak jalanan. Menurutnya, remaja yang hidup di jalanan sangat penting untuk diberikan pendekatan agama, mengingat kelompok ini amat rentan menjadi korban kekerasan seksual dan penyalahgunaan narkoba.