Sabtu, 4 Januari, 2025

Peta Jalan Pengembangan Industri Sidat Indonesia

MONITOR, Jakarta – Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia dengan 75% dari total wilayahnya (termasuk ZEE Indonesia) tertutup oleh lautan dan samudera, dan 28% dari total luas daratannya ditutupi oleh ekosistem air tawar (sungai, danau, waduk, dan daerah rawa); Indonesia memiliki potensi produksi perikanan berkelanjutan terbesar di dunia. Dan Salah satu komoditas unggulan perikanan Indonesia adalah Belut Anguillid (Anguilla spp) atau Sidat.

Demikian disampaikan Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB yang juga Ketua Masyarakat Akuakultur Indonesia (MAI), Prof Rokhmin Dahuri saat menjadi pembicara kunci “International Seminar On Fisheries” yang diselenggarakan oleh Universitas Tadulako (Untad) Palu secara virtual. Kamis (27/8/2020).

“Sidat menjadi komoditas unggulan perikanan Indonesia karena harganya yang tinggi dan permintaan yang semakin besar baik di pasar domestik maupun global, mengandung protein tinggi, DHA, EPA, vitamin, dan mineral yang sangat baik untuk kesehatan, kekuatan, dan kecerdasan manusia,” ujarnya.

Menurut Rokhmin, secara alami Indonesia memiliki salah satu sumber daya sidat terbesar dimana saat ini ttok sidat alami di bagian lain dunia telah dieksploitasi secara berlebihan atau terancam. “Situasi ini membuat sumber daya belut Anguillid Indonesia semakin kompetitif,” terangnya.

- Advertisement -

Mantan Menteri Kelautan dan Perikanan itu menegaskan jika dikelola dengan baik, industri sidat (dari hulu ke hilir) adalah entitas bisnis yang sangat menguntungkan dan berkelanjutan yang menyerap lapangan kerja besar dan menciptakan multiplier effect yang beragam.

“Saat ini sebagian besar produksi belut dunia dihasilkan dari kegiatan budidaya (pemeliharaan) (97% dari total produksi belut dunia),” ungkapnya.

Pada tahun 2010-2018, beber Rokhmin produksi sidat Indonesia bergerak dinamis, sebagian besar dari kegiatan perikanan tangkap (rata-rata 1.457 ton per tahun). “Pada tahun 2018 produksi penangkapan ikan sidat terbanyak berasal dari Provinsi Sulawesi Selatan (40,5%), diikuti oleh Bengkulu (16,1%) dan Yogyakarta (10,0%),” katanya.

Lebih dari 200.000 ton / tahun sidat diproduksi di seluruh dunia dimana produsen utamanya adalah Cina, Jepang, dan Korea. Lebih dari 70% produk ini diproduksi untuk pasar ‘Kabayaki’ Jepang. “Kabayaki adalah gaya penyajian belut, di mana belut sekitar 150-200g diberi mentega, diletakkan di atas tusuk sate, diolesi dengan kecap kental, dan dikukus atau dipanggang. Lebih dari 90% belut yang dikonsumsi di Jepang disajikan dengan cara ini,” urainya.

Pada tahun 2010, lanjut Rokhmin Greenpeace International telah menambahkan belut Eropa (Anguilla anguilla), belut Jepang (Anguilla Japponica), dan belut Amerika (Anguilla rostrata) ke dalam daftar merah makanan laut.

“Populasinya mengalami penurunan drastis akibat konsumsi yang berlebihan, sehingga pasar dunia saat ini beralih ke spesies sidat tropis di Indonesia. Dari 6 spesies sidat yang ada di Indonesia, spesies yang paling banyak diminati adalah Anguilla bicolor dan Anguilla marmorata,” katanya.

Ekspor Sidat

Tahun 2010-2019 ekspor belut hidup menurun (rata-rata -11% per tahun), sedangkan ekspor belut beku meningkat (rata-rata 37% per tahun).

Karena siklus hidupnya yang sangat kompleks, Rokhmin mengatakan belut belum pernah dikembangbiakkan di tempat penetasan. Akibatnya, industri budidaya belut di seluruh dunia selama ini harus bergantung pada pemanenan sidat kaca dari alam liar untuk penebaran kolam budidaya.

“Di luar negeri, produksi tahunan sidat dari budidaya mulai menurun karena beberapa hal. Salah satu faktor utama adalah penurunan pasokan sidat kaca. Hal ini sebagian disebabkan oleh pemanenan belut kaca yang berlebihan yang menyebabkan perekrutan atau reproduksi jatuh,” katanya.

Budidaya Sidat

Rokhmin mengatakan sidat dapat dibudidayakan di kolam dan sistem tangki resirkulasi. Tingkat penebaran dalam sistem tangki dan sistem kolam intensif bervariasi, tergantung pada kapasitas sistem dan intensitas operasi.

“Dalam sistem tangki yang dikembangkan dengan baik, tingkat penebaran dapat mencapai hingga 80 kg / m3, sedangkan dalam sistem kolam super intensif, tingkat penebaran dapat melebihi 20 ton / ha,” katanya.

Kisaran suhu yang ideal agar sidat tetap sehat dan secara efisien mengubah pakan menjadi pertumbuhannya adalah 23-28 ° C. Suhu di atas optimal akan menurunkan tingkat makan dan pertumbuhan, stres dan terkadang kematian.

“Di bawah lingkungan yang terkendali iklim, belut diharapkan dapat dibesarkan ke ukuran pasar (200-300g) setelah 18-24 bulan,” tambahnya.

Pengembangan Industri

Untuk mendukung pengembangan industri sidat alami di Indonesia, pakar kemaritiman itu memberikan beberapa rekomendasi yang harus dilakukan antara lain : Melindungi tempat bertelur dan tempat pembibitan sidat Anguillid di seluruh ekosistem perairan tawar dan laut Indonesia dalam bentuk kawasan lindung (‘zona larang tangkap’).

“Lindungi jalur migrasi belut di sepanjang daerah aliran sungai. Pemanenan sidat kaca untuk budidaya dan sidat ukuran pasar untuk konsumsi langsung harus diatur secara ketat agar tingkat panen tidak melebihi Total Tangkapan yang Diizinkan (80% MSY),” tandasnya.

Rokhmin juga menekankan praktek penangkapan ikan yang merusak harus dilarang (dihentikan). “Ukuran sidat yang dapat diekspor harus lebih besar dari 150 gram / ekor sidat,” katanya.

Selanjutnya memperkuat dan meningkatkan pengembangan program pembenihan sidat untuk menghasilkan larva dan belut kaca untuk budidaya berkelanjutan. “Memperkuat dan meningkatkan budidaya belut berkelanjutan dengan menerapkan Praktik Budidaya Terbaik meliputi SPF dan SPR glass eels, pengelolaan pakan yang tepat, pengendalian hama dan penyakit, pengelolaan kualitas air, desain dan rekayasa kolam (wadah media), dan biosekuriti,” tegasnya.

“Kita juga memperkuat dan meningkatkan industri pengolahan dan pemasaran, terutama untuk pasar global. Mengembangkan infrastruktur, logistik terintegrasi dan sistem manajemen rantai pasokan. Memperkuat penelitian dan pengembangan (R&D) dan inovasi untuk industri sidat yang lebih kompetitif, menguntungkan, dan berkelanjutan,” tambahnya.

Kapasitas dan etos kerja petani dan pemangku kepentingan lainnya yang bergerak dalam sektor perikanan khususnya sidat di Indonesia harus terus ditingkatkan. “Dan tidak kalah penting lagi adalah kebijakan politik-ekonomi (misalnya moneter, fiskal, iklim investasi, dan kemudahan berusaha) harus kondusif,” pungkas Rokhmin Dahuri.

- Advertisement -

BERITA TERKAIT

TERPOPULER