Sabtu, 23 November, 2024

Aktifkan Kembali Evi, KPU Dinilai Cederai Etika Pemilu

MONITOR, Jakarta – KPU RI dinilai telah mencederai etika kepemiluan dan kepastian hukum atas pelanggaran etik pemilu.

Hal itu diungkapkan oleh Juru Bicara Koalisi Gerakan Indonesia Adil dan Demokratis (GIAD) dan juga Koordinator Tepi Indonesia, Jeirry Sumampow, saat menanggapi sikap KPU RI yang mengaktifkan kembali Evi Novida Ginting Manik sebagai Komisioner KPU RI.

“Diaktifkannya kembali Evi Novida Ginting Manik sebagai anggota KPU sesuai dengan Keputusan Presiden (Keppres) No. 83/P/2020 yang mencabut Keppres No. 34/P/2020 setelah dikeluarkannya putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) dipandang sangat mencederai etika kepemiluan dan kepastikan hukum atas pelanggaran etik pemilu,” ungkapnya dalam keterangan resmi, Jakarta, Kamis (27/8/2020).

Jeirry menilai, dengan adanya keputusan KPU RI tersebut, maka keputusan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) tidak lagi dipandang final dan mengikat bagi penyelenggara Pemilu.

- Advertisement -

“Di sisi yang lain, PTUN akan menjadi lahan subur bagi pemafaan kasus-kasus coreng penyelenggara yang merusak integritas demokrasi secara keseluruhan,” ujarnya.

Jeirry mengingatkan, Evi Novida Ginting Manik diadukan ke DKPP atas dugaan pelanggaran etik berat terkait dugaan perubahan hasil pemilu lewat Putusan DKPP Nomor 317-PKE-DKPP/X-2019 dengan sanksi pemberhentian tetap. Kasus ini telah terang benderang di publik lewat keterangan di dalam Putusan DKPP bahwa telah terjadi ‘persekongkolan’ dalam upaya merubah ketetapan kursi anggota DPRD Provinsi Kalimantan Barat hasil Pemilu 2019.

“Bersama Evi, DKPP juga memberikan teguran keras kepada lima anggota Komisioner KPU RI yang lain. Persekongkolan terjadi dalam bentuk pemanggilan anggota KPU Kalbar ke KPU Pusat dan pemutusan sepihak untuk merubah ketetapan suara dalam rapat tertutup di ruangan salah satu anggota Komisioner KPU Pusat yang memenangkan suara calon yang suaranya diduga digelembungkan,” ujarnya.

Dalam kasus itu, menurut Jeirry, Evi dianggap paling bertanggungjawab karena posisinya yang mengoordinasikan dan melakukan supervisi terkait penetapan dan dokumentasi hasil pemilu, seperti tertulis dalam dokumen putusan DKPP. Selain itu, Evi juga dinyatakan melanggar kode etik dan diberhentikan dari jabatan Ketua Divisi SDM, Organisasi, Diklat, dan Litbang KPU.

“Ketidakjelasan kasus Evi yang sebelumnya telah diputus pelanggaran etik berat oleh DKPP dapat berdampak lebih jauh ke ketetapan hasil pemilu yang terkait dengan kasusnya. Juga akan berdampak pada integritas KPU secara umum sebagai penyelenggara, terlebih menjelang Pilkada langsung tahun 2020,” katanya.

Jeirry menyebutkan, dampak yang lebih luas adalah pada ketidakpastian atas putusan etik pemilu lewat DKPP yang seharusnya final dan mengikat sesuai dengan UU No. 7 Tahun 2017. Bahkan, menurut Jeirry, seharusnya putusan itu dapat ditindaklanjuti ke penegak hukum terkait dugaan transaksional di balik penetapan kursi DPRD yang suaranya bermasalah. 

Terkait dengan hal itu, Jeirry mengungkapkan bahwa Koalisi GIAD memiliki sejumlah tuntutan. Pertama, menurut Jeirry, DKPP harus segera mengambil sikap dalam rangka menjaga marwah integritas dan etika kepemiluan.

“Kedua, meminta KPU untuk menolak kembalinya Evi Novida sebagai anggota KPU atas nama integritas pemilu dan menjaga nama baik KPU di mata publik,” ungkapnya.

Ketiga, Jeirry menambahkan, GIAD meminta aparat penegak hukum baik itu Polri ataupun KPK untuk menelisik kasus Evi lebih jauh terkait dugaan praktik transaksional di balik siasat penetapan kursi kader Partai Gerindra di Kalimantan Barat.

Sekadar informasi, Koalisi GIAD adalah gabungan dari sejumlah LSM. Di antaranya adalah Ray Rangkuti (Direktur Lima Indonesia), Ibrahim Fahmy Badoh (Direktur Nara Integrita), Kaka Suminta (Sekjen KIPP), Arief Nur Alam (Peneliti IBC), Alwan Ola Riantoby (Koordinator Nasional JPPR), Ari Nurcahyo (Direktur Para Syndicate), Badi’ul Hadi (Seknas Fitra), Yusfitriadi (Direktur Deep), Arief Susanto (Analis Exposit Strategic), Lucius Karus (Peneliti Formappi) dan August Melaz (Direktur Sindikasi Pemilu dan Demokrasi).

- Advertisement -

BERITA TERKAIT

TERPOPULER