Selasa, 7 Mei, 2024

Pemanfaatan Limbah Perikanan Wujudkan Konsep Ekonomi Biru

MONITOR, Jakarta – Koordinator Penasehat Menteri Kelautan dan Perikanan Bidang Riset dan Daya Saing, Prof. Rokhmin Dahuri mengatakan sebagai negara kepulauan terbesar di dunia yang tiga perempat wilayahnya berupa laut (termasuk ZEEI) dan 28% wilayah daratnya berupa perairan (danau, bendunga, sungai, dan perairan rawa), Indonesia memiliki potensi produksi lestari perikanan sekitar 113,5 juta ton per tahun atau terbesar di dunia.

Pada tahun 2019 saja, total produksi perikanan baru sekitar 24,50 juta ton (21,6%), atau menempati produsen perikanan terbesar kedua di dunia setelah China sejak 2009. Di sisi lain, terus meningkatnya produksi perikanan juga diikuti oleh berkembangnya industri pengolahan perikanan. Sayangnya, menyisakan hasil samping yakni limbah berupa tulang, kulit, sirip, kepala, sisik, jeroan, maupun cairan yang mencemari lingkungan. Alhasil, menimbulkan bau busuk dan mengganggu kesehatan manusia bahkan kematian

“Sebesar 30%-40% produksi perikanan di Indonesia atau mencapai 8,6 juta ton pada 2019 menjadi limbah. “Dari jumlah itu, sekitar 2 juta ton terbuang sebagai limbah yang tidak termanfaatkan,” katanya saat menjadi narasumber dalam Webinar “Mendulang Rupiah Melalui Pemanfaatan Cangkang Kerang dan Kulit Ikan” yang digelar Direktorat Jenderal Penguatan Daya Saing Produk Kelautan Perikanan (PDSPKP), Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Selasa (18/8/2020). 

Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB University itu merinci limbah tersebut diperkirakan memiliki proporsi sekitar 30%-40% total berat ikan, moluska dan krustasea, terdiri dari bagian kepala (12,0%), tulang (11,7%), sirip (3,4%), kulit (4,0%), duri (2,0%), dan isi perut atau jeroan (4,8%). Menurut Rokhmin, limbah tersebut seharusnya bisa menjadi berkah dengan cara diolah kembali.

- Advertisement -

“Menjadikan limbah perikanan sekitar 35% total produksi atau 8,6 juta ton itu menjadi berkah akan menjadi wujud sumbangan terbaik lain dari sektor kelautan dan perikanan. Padahal, total volume ekspor perikanan Indonesia pada 2019 hanya 1,23 juta ton yang mana 14% nya adalah limbahnya,” terangnya. 

Ketua Dewan Pakar Masyarakat Perikanan Nusantara itu menegaskan jika pemanfaatan limbah merupakan penerapan dari salah satu prinsip ekonomi biru atau blue economy, dilakukan lewat prinsip nirlimbah dengan menekankan sistem siklikal dalam proses produksi, sehingga tercipta produksi bersih. “Artinya, limbah dari sebuah proses produksi akan menjadi bahan baku atau sumber energi bagi produk berikutnya,” jelas Rokhmin.

Meski demikian, Mantan Menteri Kelautan dan Perikanan itu mengutarakan pemanfaatan limbah kegiatan perikanan ini masih banyak menemui tantangan, yakni kurangnya kesadaran dan pengetahuan yang rendah tentang pemanfaatan limbah hasil perikanan, kurang penyebaran informasi tentang konsep pengolahan limbah hasil perikanan. Selain itu, belum adanya unit khusus yang bertugas menangani limbah hasil perikanan di KKP, Dinas KP Provinis dan Kabupaten/Kota.

“Mahalnya pembuatan unit pengolahan limbah hasil perikanan juga menjadi kendala, sedangkan kalangan usaha merasa tidak mendapatkan keuntungan dalam pengelolaan limbah. Di sisi lain sulitnya memperoleh peralatan dan zat kimia yang diperlukan dalam proses perebusannya contohnya pemanfaatan limbah cangkang kepiting,” ujarnya.

Untuk menghadapi tantangan tersebut, Rokhmin menilai, butuh strategi dan teknik pemanfaatan dan pengelolaan limbah perikanan lewat pemanfaatan hasil tangkap sampingan (by catch) dan ikan rucah (trash fish) yang jumlahnya mencapai 20% total hasil tangkap purse seiners, pukat ikan, pukat udang, dan alat tangkap lainnya. “Juga diperlukan penerapan best handling practices sejak dari hulu hingga sistem rantai pasok perikanan,” jelas Ketua Masyarakat Akukultur Indonesia (MAI) itu.

Ia melanjutkan, bagian dari ikan, moluska (kekerangan), krustasea, rumput laut, dan komoditas perikanan lain yang tidak bisa dikonsumsi langsung (seperti tulang, cangkang, kulit, dan lainnya) harus diolah dan dimanfaatkan, sehingga akan menghasilkan zero waste (berkah) dari sektor kelautan dan perikanan.

Penyediaan teknologi pemanfaatan limbah perikanan menjadi produk bernilai tambah dan bermanfaat bagi manusia, termasuk pembangunan pabrik tepung ikan (skala mini-medium) di wilayah–wilayah sentra produksi perikanan tangkap yang banyak menghasilkan by catch dan trash fish (Maluku, Maluku Utara, Papua, Papua Barat, dan Sulawesi) dengan memanfaatkan gas buang dari pembangkit listrik setempat.  “Dan yang tidak kalah penting adalah penyediaan kredit relatif murah dan lunak, karena saat ini sangat memberatkan pengusaha kecil dan nelayan. Di samping itu,perlu peningkatan kesadaran publik tentang arti penting dan strategis pemanfaatan dan pengolahan limbah perikanan melalui pelatihan dan penyuluhan, hingga penciptaan iklim investasi dan kemudahan berbisnis yang kondusif dan atraktif,” saran Rokhmin.

- Advertisement -

BERITA TERKAIT

TERPOPULER