MONITOR, Jakarta – Lemahnya oposisi parlemen terhadap pemerintahan Presiden Jokowi memang memungkinkan bangkitnya oposisi jalanan. Dalam demokrasi yang sehat, oposisi jalanan biasanya dimainkan oleh kekuatan civil society dan benar-benar mencerminkan aspirasi publik yang tak tersalurkan melalui mekanisme prosedural kekuasaan.
Hal itu diungkapkan oleh Pengamat Politik, Boni Hargens, saat menanggapi deklarasi Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) di Tugu Proklamasi, Jakarta Pusat, Selasa (18/9/2020).
“Namun, KAMI ini oposisi jalanan yang terpisah dari masyarakat. Para pengusungnya adalah ‘para bekas’, yaitu bekas politisi, bekas birokrat, bekas tokoh agama, bekas akademisi kampus dan bekas aktivis yang sempat menikmati kekuasaan pada periode pemerintahan sebelumnya,” ungkapnya dalam keterangan resmi, Jakarta, Selasa (18/8/2020).
Menurut Boni, kehadiran broker politik dan pemburu rente dalam demokrasi elektoral sudah menjadi tradisi umum di negara yang demokrasinya belum begitu stabil.
“Saya cemas jangan-jangan KAMI ini hanya kelompok broker politik ataupun pemburu rente yang ingin mencari untung sesaat,” ujarnya.
Boni menyebutkan bahwa alasannya jelas, para deklarator dan momentum deklarasi adalah orang-orang yang dikenal publik karena kebiasaan mereka mencibir pemerintah di media. Meski demikian, menurut Boni, gerakan mereka tetap harus dihargai sebagai bagian dari kebebasan demokratik.
“Namun, saya ingin mengatakan bahwa deklarasi Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia 18 Agustus 2020 tidak lebih dari sekedar oposisi jalanan. Pertimbangannya, isu yang mereka usung semuanya isu lama, tidak ada yang baru, mereka juga tidak mempunyai basis dukungan massa yang memadai dan legitimasi moral mereka lemah di mata masyarakat,” katanya.
Boni menduga, KAMI dibentuk hanya untuk membangun bargaining position yang strategis untuk target Pilpres 2024. Menurut Boni, tentu ada salah satu dari tokoh-tokohnya yang berambisi menjadi Capres atau Cawapres. Kalaupun tidak ada, setidaknya mereka bisa menjadi kekuatan yang layak diperhitungkan oleh para kandidat. Artinya, target KAMI politik pragmatis.
“Saya skeptis dengan misi mereka ‘menyelamatkan Indonesia’. Justru para tokoh KAMI adalah orang-orang yang perlu diselamatkan dari cara berpikir yang sinis dan pesimis terhadap pemerintah. Mereka perlu diselamatkan dari sikap skeptis yang cendrung absurd,” ungkapnya.
Sejauh ini, Boni menilai, KAMI belum berpotensi menjadi ancaman bagi stabilitas politik dan keamanan negara. Namun, dalam perjalanan waktu ke depan, KAMI bisa menjadi ancaman. Menurut Boni, ada beberapa alasan untuk itu.
“Pertama, sebagian kelompok pendukung KAMI adalah kelompok ideologis yang pada periode Pemilu 2019, termasuk Pilkada DKI Jakarta 2017, memainkan politik identitas. Kalau KAMI ikut mengamplifikasi politik identitas, maka gerakan mereka berpotensi menjadi ancaman bagi ketahanan ideologi dan demokrasi Pancasila,” ujarnya.
Kedua, Boni mengatakan, KAMI muncul di tengah kesibukan pemerintah menangani wabah Covid-19. Gerekan mereka berpotensi menguras energi pemerintah dan berpotensi mengganggu jalannya pemerintahan.
“Ketiga, kalau KAMI ikut bermain dalam kampanye Pilkada Serentak Desember 2020 yang di depan mata, maka ada kemungkinan kehadiran KAMI menjadi masalah tersendiri. Propaganda anti-pemerintah akan terus menjadi narasi politik yang dominan baik di tingkat lokal maupun nasional,” katanya.
Menurut Boni, jika KAMI memang mempunyai motivasi dan intensi yang baik untuk merawat demokrasi, sebaiknya KAMI memberikan evaluasi dan kritik secara komprehensif dalam bentuk kajian yang akademik dan memadai tentang kelemahan dan kekuatan pemerintah dan kebijakannya.
Sejauh ini, Boni menyampaikan, ada kesan bahwa KAMI adalah barisan sakit hati yang sekadar ingin melawan pemerintah karena faktor dendam politik. Menurut Boni, stigma itu tak mudah dihapus dan hanya KAMI sendiri yang bisa meluruskan persepsi macam itu.
“Itu sebabnya saya menilai penting sekali KAMI mengeluarkan evaluasi yang komprehensif tentang kinerja pemerintah dengan data yang kuat dan tetap mengikuti kaidah ilmiah. Tanpa itu, lagi-lagi, KAMI hanyalah laskar sakit hati yang memobilisasi gerakan oposisi jalanan,” ungkapnya.
Meski demikian, Boni menambahkan, kehadiran KAMI harus tetap menjadi perhatian institusi penegak hukum dan aparat keamanan. Bagaimanapun, kelompok ini tentu membutuhkan dukungan finansial yang memadai selain konsolidasi non-material yang barangkali sifatnya ideologis.
“Maka, perlu ada monitoring siapa yang mendanai. Selain itu, kehadiran KAMI juga perlu dikaji dari aspek analisis ancaman untuk mengukur potensi ancaman yang mungkin muncul dalam dinamika politik ke depan,” ujarnya.
Sekadar informasi, para tokoh yang hadir dalam deklarasi KAMI tersebut di antaranya adalah Din Syamsuddin, Gatot Nurmantyo, Refly Harun, Said Didu, Rocky Gerung, Ichsanuddin Noorsy dan Ahmad Yani.