MONITOR, Jakarta – Media sosial nyaris ampuh dijadikan sebagai alat kampanye menaikkan reputasi kandidat calon, atau sebaliknya membuat narasi propaganda pada rival politik. Terlebih, media sosial memberikan ruang tidak terbatas bagi seorang individu/ kelompok yang tidak bisa dipertanggungjawabkan secara sosial.
Politikus PDI Perjuangan Budiman Sudjatmiko melihat kondisi ini sangat mengkhawatirkan. Ketika ada aspirasi atau kehendak yang diredam, lalu orang tersebut memiliki kanalisasi lewat media sosial maka aspirasi tersebut bisa diunggah dalam jumlah banyak, atau dalam kelompok.
Budiman juga menyadari, dalam pilkada serentak yang akan digelar pada Desember 2020 nanti, pasti ada pihak-pihak tertentu yang sengaja memainkan isu-isu berupa ujaran kebencian, hoax hingga SARA.
“Dan ini membanjiri percakapan di media sosial serta bisa mempengaruhi pilihan politik individu. Dengan tanpa pertanggungjawaban sosial yang jelas, tanpa ada rasa malu, tidak ada arena pertanggungjawaban atas postingan yang disampaikan di media sosial,” tutur Budiman Sudjatmiko, dalam diskusi online bertajuk ‘Pilkada Tanpa Ujaran Kebencian dan Isu Agama Lebih Oke’ yang digelar Sudut Demokrasi Rakyat, Kamis (13/8).
Menariknya lagi, kata Budiman, kampanye medis sosial ini sudah menjadi bisnis, bahkan dilakukan lintas negara. Aktivis 98 ini mengingatkan masyarakat agar mengambil pelajaran dari pilkada-pilkada sebelumnya agar perpecahan antar anak bangsa tidak terulang lagi akibat perhelatan politik.
“Kita harus belajar dari Pilgub DKI, apa yang bisa kita pelajari dari Pilkada Poso, adanya kasus konflik agama, motivasi pemilihan kepala daerah, jika kita tidak mengambil pelajaran apapun dari pemilihan kepala daerah sebelum-sebelumnya, saya kira ini akan terus terjadi lagi,” imbuh Budiman.