Hery Haryanto Azumi *
Tidak dipungkiri, Islam adalah agama yang dipeluk oleh mayoritas penduduk Asia Tenggara. Mulai dari negara-negara kepulauan Asia Tenggara sampai daratan Indochina dan Burma.
Variasi hubungan sosial Islam dengan lingkungan masing-masing cukup mencerminkan kompleksitas. Ada situasi dimana Islam dianut oleh mayoritas penduduk, seperti di Indonesia, Malaysia, dan Brunei. Juga, dimana Muslim adalah minoritas seperti di Singapura, Thailand, Filipina, Myanmar, Vietnam, Laos, Kambodia dan Timor Leste. Kedua situasi ini dapat menjadi faktor kontrol bersama-sama secara timbal balik untuk terjadinya self-reflection.
Di samping Islam yang dianut mayoritas penduduk (39,9 %) Budhisme (23,6 %) banyak dianut di daratan Indochina, mulai dari Myanmar, Thailand, Laos, Kambodia dan Vietnam. Sementara Katholik/Kristen (21,4 %) dianut oleh mayoritas penduduk Filipina, Singapura, Timor Leste, dll.
Di setiap negara Asia Tenggara, secara umum praktik dan relasi antar umat beragama cenderung damai. Ada peristiwa-peristiwa konflik yg melibatkan umat antar agama seperti di Indonesia dalam Konflik Ambon dan Poso, dan konflik yang melibatkan pemerintah pusat melawan daerah-daerah dengan aspirasi dan ekspresi agama yang berbeda, seperti di Thailand, Myanmar dan Filipina. Namun secara umum, problem-problem tersebut mengarah kepada resolusi damai yang lebih positif.
Kompleksitas situasi tersebut memerlukan suatu piagam kebersamaan yang menandai satu tekad untuk bangkit bersama (collective rise). Pertama, bangkit bersama dengan kesadaran bahwa Asia Tenggara adalah kawasan majemuk yang harus dijaga bersama. Kedua, bangkit bersama sebagai kekuatan kawasan yang mampu mendamaikan dunia.
Kebangkitan Bersama (Collective Rise) tersebut memerlukan landasan sosial yang kuat dan berakar dalam masyarakat Asia Tenggara. Landasan agama dan budaya adalah salah satu yang dapat menyatukan di samping kenyataan-kenyataan konflik di atas. Tapi justru landasan keberagamaan yang diperkaya dengan pengalaman damai dan konflik justru akan semakin kokoh.
Etika Sosial Asean
Bukan tidak mungkin Islam Nusantara yang telah berakar dalam masyarakat Nusantara selama lebih dari enam abad sampai satu milenium dapat dikembangkan sebagai etika sosial yang dapat diterima bersama. Budaya maritim yang terbuka dan budaya agraris yang menghargai ekologi telah menjadi praktik seluruh masyarakat Asia Tenggara selama lebih dari dua milenia.
Masyarakat-masyarakat Asia Tenggara telah sejak lama dihubungkan dengan budaya ini melalui jalur-jalur perdagangan dan diperkuat dengan pernikahan sehingga melahirkan kultur hibrida di dalam masyarakatnya. Ditambah oleh posisi dan letak geografis yang sangat strategis di tengah jalur-jalur perlintasan dunia, masyarakat Asia Tenggara adalah kunci arah angin dunia.
Di atas landasan keterbukaan dan persamaan, kompleksitas dan kerjasama ini dimungkinkan untuk menjadikan nilai-nilai Islam Nusantara sebagai bahan-bahan pembentuk etika sosial Asia Tenggara yang pada gilirannya akan menjadi Piagam Sosial, Politik dan Ekonomi Asia Tenggara.
Tentunya, Islam Nusantara dimaksud bukanlah organisasi atau madzhab tertentu, tetapi keseluruhan umat Islam yang ada di Nusantara dengan karakter kenusantaraannya dapat menjadi bagian dari pembentuk etika sosial tersebut. Kecenderungan Arabis atau internasionalis di sebagian kalangan dapat dijadikan sebagai khazanah yang pada gilirannya dapat berubah sebagai aset yang dibutuhkan di kemudian hari.
ASEAN sebagai wadah bersama negara-negara Asia Tenggara harus diperkuat. Integrasi masyarakatnya harus diperkokoh dengan proyek-proyek kolaborasi di berbagai sektor.
Bukan tidak mungkin, dengan penguatan ASEAN melalui Piagam Sosial, Politik dan Ekonomi tersebut akan menjadi kekuatan yang lebih menentukan di masa kini dan mendatang. 650 juta penduduk ASEAN adalah kekuatan besar yang merubah arah angin sejarah peradaban manusia.
*) Penulis Merupakan Ketua Umum Forum Satu Bangsa (FSB)