MONITOR, Jakarta – Ketua Umum Dewan Pimpinan Nasional (DPN) Partai Gelora Indonesia, Anis Matta, mengatakan bahwa referendum yang dilakukan Rusia harus diamati sebagai respon strategis terhadap tantangan jangka panjang negara tersebut.
Hal ini menanggapi keputusan Presiden Rusia Vladimir Putin yang melakukan referendum untuk mengubah konstitusi negaranya 25 Juni hingga 1 Juli 2020 lalu untuk mengatasi krisis berlarut dan global. Dimana, usulan perubahan tersebut juga diterima oleh sebagian besar rakyat Rusia dengan dukungan mencapai 73 persen.
“Negara sebesar Rusia, yang kini terlibat dalam ketegangan global di berbagai hotspot, memerlukan figur pemimpin yang kuat. Ancaman keutuhan wilayah, perang dagang dan sabotase ekonomi dan infiltrasi budaya. Diamati dengan cermat betul oleh Putin,” kata Anis kepada wartawan, di Jakarta, Sabtu (10/7).
Menurut Anis, para ahli strategi dunia menyebut juga bahwa perang dagang kini adalah perang sebenarnya yang tidak kalah ‘mematikan’ atau memperlemah satu negara yang dapat berujung pada merosotnya legitimasi pemerintahan yang sah, dan akhirnya kalah pada pemilu atau oleh pemberontakan.
Sebab, sambung pengamat geopolitik internasional ini, perang terbuka saat ini terlalu mahal secara finansial, sosial dan reputasi internasional. Sehingga perang dunia sekarang bergerak ke perang hibrida (hybrid war) yang memadukan antara perang konvensional (militer) dengan paramiliter (orang terlatih). Dimana orang terlatih ini bukan bagian dari ‘militer resmi’ negara tertentu.
Mereka melakukan juga perang yang tidak teratur dengan ancaman cyber warfare (perang cyber di internet), senjata nuklir, senjata biologi dan kimia, dan perang informasi.
“Jadi Putin memahami hal ini dengan betul dan menyiapkan bangsa Rusia menghadapi tantangan eksistensial di masa yang akan datang,” sebut dia.
Dari perspektif geopolitik itu, lanjut Anis, Rusia adalah pengakuan diri sebagai penerus Uni Soviet, baik dalam hubungan perjanjian, organisasi maupun kepemilikan aset internasional. Artinya, kekuasaan politik Rusia akan lebih besar dari wilayah politik Rusia sekarang.
Putin, imbuh Anis, juga memahami Rusia yang membutuhkan alat rekayasa sosial baru dan alat itu adalah konstitusi. Misalnya, konstitusi baru ini secara tegas menyebut Rusia sebagai negara bertuhan, bukan sebagai negara komunis, serta melarang pernikahan sejenis.
Putin juga berhasil mengkondisikan Rusia lebih konservatif dari segi budaya untuk memperkokoh sendi-sendi bangsa Rusia dari infiltrasi budaya yang tidak sepenuhnya menguntungkan kepentingan nasional Rusia.
“Putin akan menjadi pemimpin yang sangat kuat secara konstitusional dengan jangka waktu yang lama dan bisa berkuasa hingga 2036. Dengan konstitusi baru, periode Putin yang lalu tidak dihitung atau semacam diputihkan,” papar dia.
Hal ini dibutuhkan Rusia untuk mempertahankan posisi politik dan ekonomi mereka di tengah konstelasi global baru yang diperparah oleh krisis berlarut akibat pandemi Covid-19.
“Apakah strategi jangka panjang itu efektif bagi Rusia? Waktu juga yang akan mengujinya Tapi kita belajar satu hal bahwa mereka berjibaku habis-habisan untuk bertahan di tengah krisis berlarut,” pungkasnya.