DPD RI dari D.I. Yogyakarta, Hilmy Muhammad
MONITOR, Yogyakarta – Desa dapat menjadi solusi atas berbagai persoalan di masyarakat, utamanya melalui tiga hal, yaitu gotong royong, ketahanan pangan, dan religiositas. Al-Qur’an sendiri memberikan kriteria desa yang
baik dengan ungakapan, “baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur”.
Pernyataan tersebut disampaikan Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI dari D.I. Yogyakarta, Hilmy Muhammad dalam Kongres Kebudayaan Desa, seri 9 tentang agama, yang diselenggarakan secara virtual oleh Desa Panggungharjo, Sewon, Bantul, pada Senin pagi (6/7/2020).
“Bagaimana kemudian kita merumuskan ketiganya, itu saya kira yang penting menjadi bahasan dalam Kongres ini. Dan kalau kita membicarakan agama di tengah pandemi, maka sesungguhnya beberapa kali agama telah membuktikan diri survive sebagai sistem nilai yang kokoh dan teruji. Apabila agama adalah pranata yang disiapkan oleh Allah agar manusia bisa hidup berdampingan dengan damai dan bahagia, maka para nabi dan kemudian para kiai, sebagai penyambung lidah ajaran “langit” ke bumi, adalah budayawan. Oleh karena itu, kita heran juga ada anggaran kebudayaan yang tidak boleh dialokasikan kepada mereka saat mereka membutuhkan,” ujar Gus Hilmy yang juga merupakan Senator asal Yogyakarta.
Lebih lanjut, Gus Hilmy menyampaikan bahwa di sinilah makna penting kiai sebagai budayawan. Dia harus mampu menerjemahkan ajaran agama dalam keadaan apa pun dan bagaimanapun seperti saat kekeringan, saat paceklik, saat gempa, saat pemilu, atau saat terjadi pandemi seperti sekarang ini.
Dia harus bisa hadir di tengah masyarakat, menenangkan atau ngeyem-yemi dalam Bahasa Jawa. Dalam Bahasa Arab dinyatakan dengan ungkapan, “himmatul ulama ar-ri’ayah” (fokus perhatian ulama adalah ngrekso atau menjaga harmoni).
“Dengan demikian, rumusan para ulama untuk tidak salaman, sementara tidak Salat Jumat atau salat dengan shaf jarang-jarang, adalah syariat baru, atau New Normal, atau istilah saya, Pakulinan Enggal. Hal itu boleh berlaku dengan cara yang benar sesuai dengan prinsip perundangan yang berlaku. Prinsip apa saja, seperti adl-dlararu yuzalu, yang berbahaya yang mesti dihindari dan dihilangkan. Demikian juga ma la yudraku kulluhu la yutraku julluh, bila tidak bisa diambil semua, jangan tinggalkan semua,” jelas pengasuh PP Krapyak Yogyakarta tersebut.
Webinar yang dipandu oleh Kiai Jadul Maula ini juga menghadirkan Engkus Ruswana (Majelis Luhur Kepercayaan terhadap Tuhan YME Indonesia/MLKI) dan Sabrang Damar Panuluh (Maiyah). Ketiganya menyampaikan pandangan tentang transformasi peran agama dalam tatanan nilai baru di tengah pandemi.
Engkus menyoroti bagaimana hubungan manusia, agama, dan alam. Menurutnya, seorang tokoh agama harus dapat berperan sebagai fasilitator dan mediator bagi masyarakat. Tokoh agama dituntut untuk memiliki pemikiran yang terbuka dan luas. Sementara Sabrang menekankan hubungan antara agama dan sains. Menurutnya, agama telah menyediakan stabilitas masyarakat. Jika hal itu tidak terjadi, maka agama yang dijalankan telah menyimpang.
MONITOR, Sleman - Menteri Pekerjaan Umum (PU), Dody Hanggodo, meninjau proyek revitalisasi Stadion Maguwoharjo di…
MONITOR, Bandung - PT Jasa Marga (Persero) Tbk. melalui Jasamarga Metropolitan Tollroad (JMT) kembali menunjukkan…
MONITOR, Jakarta - Menteri Agama Nasaruddin Umar menghadiri Musyawarah Nasional (Munas) ke-VII Ikatan Keluarga Alumni…
MONITOR, Cipularang - Telah terjadi kecelakaan di Ruas Tol Cipularang arah Jakarta, tepatnya KM 91+800…
MONITOR, Jakarta - Pelunasan Biaya Perjalanan Ibadah Haji (Bipih) Reguler 1446 H/2025 M sudah berlangsung…
MONITOR, Jakarta - Sejumlah anggota parlemen Malaysia meminta pemerintahan yang berkuasa saat ini untuk berguru…