MONITOR, Jakarta – Industri manufaktur menjadi salah satu sektor yang diandalkan dalam upaya pemulihan ekonomi nasional setelah tertekan akibat pandemi Covid-19. Oleh karena itu, pemerintah fokus merancang berbagai stimulus yang dapat menggairahkan iklim usaha di tanah air.
“Di tengah tantangan dampak pandemi Covid-19, sektor industri tetap menjadi kontributor terbesar untuk Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia sebesar 19,98 persen,” kata Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita di Jakarta, Kamis (25/6).
Menperin menegaskan, sejak awal krisis dampak dari wabah virus Korona, Kementerian Perindustrian berupaya untuk memastikan sektor industri bisa terus beroperasi karena merupakan tulang punggung pertumbuhan ekonomi. Kontribusi sektor industri itu juga terlihat dari capaian nilai tambah sebesar Rp700,51 triliun dan telah mempekerjakan sebanyak 18,5 juta pekerja.
“Untuk itu, Kemenperin menerbitkan Izin Operasional dan Mobilitas Kegiatan Industri (IOMKI) untuk mengamankan kelangsungan bisnis sektor industri, namun tetap menjalankan protokol kesehatan yang ketat,” terangnya.
Guna menggeliatkan kembali sektor industri, pemerintah semakin berusaha keras dengan meluncurkan berbagai kebijakan yang probisnis. Salah satu kebijakan strategis itu adalah penerbitan surat edaran yang mendorong pabrik dan fasilitas manufaktur dapat beroperasi dengan aman selama penerapan Pembatasan Sosial Skala Besar (PSBB).
“Baik perusahaan industri dalam negeri dan asing, dalam hitungan jam, telah memperoleh IOMKI yang memungkinkan mereka untuk melanjutkan operasi,” tuturnya. Hingga saat ini, Kemenperin telah mengeluarkan sebanyak 17,5 ribu izin tersebut, yang mewakili total tenaga kerja hingga 4,9 juta orang.
Tidak hanya menyasar kepada sektor industri skala besar saja, Kemenperin juga memberikan perhatian lebih kepada pelaku industri kecil menengah (IKM) agar tetap menjalankan usahanya di tengah kondisi sulit saat ini. Misalnya, mulai dari pelaksanaan program pelatihan hingga pemberian alat produksi.
“Hasilnya, beberapa pelaku IKM dapat beralih memproduksi kebutuhan alat pelindung diri (APD) seperti masker, sarung tangan, maupun kacamata pelindung. Ini juga agar mereka dapat berkontribusi dalam menyediakan permintaan global,” imbuhnya. Melalui pelatihan yang diberikan, IKM juga dapat memanfaatkan platform digital agar bisa melakukan penjualan secara online, yang sejalan dengan persiapan memasuki era industri 4.0.
Secara paralel, pemerintah juga memberikan berbagai kebijakan fiskal dan non-fiskal yang dapat dimanfaatkan oleh pelaku industri manufaktur maupun calon investor baru. “Kami memberikan stimulus untuk industri yang terkena dampak pandemi dalam bentuk relaksasi pajak impor, pajak penghasilan, restitusi pajak pertambahan nilai, serta tunjangan pajak penghasilan untuk masing-masing perusahaan,” sebut Menperin.
Selain itu, pemerintah menawarkan fasilitas pajak potongan super hingga 300% untuk perusahaan yang mengembangkan kegiatan litbang dan mendapat potongan pajak hingga 200% bagi perusahaan yang terlibat dalam pengembangan pendidikan vokasi. Menperin optimistis, beragam stimulus tersebut akan mengerek ekonomi nasional secara bertahap dan diharapkan mulai pulih pada kuartal ketiga tahun ini.
“Implementasi kebijakan fiskal dan nonfiskal itu untuk membantu aliran dana (cash flow) perusahaan, termasuk super deductible tax bagi perusahaan yang berinvestasi di bidang R&D dan pelatihan vokasi,” tuturnya.
Dalam menjaga sektor industri agar mampu melakukan rebound, Kemenperin telah mengusulkan berbagai stimulus tambahan, di antaranya pengurangan biaya energi listrik dan gas agar lebih proporsional, mengusulkan fleksibilitas dalam pembiayaan bagi industri manufaktur, serta mendorong substitusi impor. Usulan tersebut merupakan tindak lanjut dari kebijakan-kebijakan yang telah dikeluarkan pemerintah.
Agus menegaskan, pelaku industri di dalam negeri masih punya semangat untuk menghadapi tantangan yang timbul dari pandemi Covid-19 dan gejolak perekonomian global. “Ini terlihat dari sektor industri yang akan mewujudkan kemandirian Indonesia dalam menanggulangi penyakit seperti industri peralatan medis dan barang habis pakai (medical devices and consumables),” ujarnya.
Pada industri peralatan medis dan barang habis pakai, potensi Indonesia saat ini memiliki kapasitas produksi mencapai 3 juta buah masker N95 dan sebanyak 4,7 miliar buah masker bedah per tahun, yang diproyeksi mampu memenuhi konsumsi domestik sebesar 172,2 juta per tahun.
Industri nasional juga telah mampu memproduksi massal hingga 648 juta buah produk hazmat untuk memenuhi konsumsi domestik tahunan yang diperkirakan mencapai 11,3 juta buah. Artinya, industri nasional tidak hanya mampu memenuhi konsumsi lokal, tetapi juga dapat memenuhi permintaan pasar dunia. “Ini melengkapi kemampuan kita yang sudah dapat memenuhi permintaan domestik masker kain dan surgical gown,” tandasnya.
Bahkan, beberapa produk hazmat produksi dalam negeri telah lulus uji skala internasional American Association of Textile Chemists and Colorists (AATCC) Standards; AATCC 42 (uji dampak air) dan AATCC 127 (uji tekanan hidrostatik), serta standar internasional untuk perlindungan menyeluruh terhadap bahaya biologis dan cairan (ISO 16604 level 2). “Hingga saat ini, enam dari 16 produsen dalam negeri telah disertifikasi dan bersiap untuk mengekspor dan memenuhi permintaan global,” ungkap Agus.
Sementara, untuk industri ventilator, saat ini perusahaan lokal sedang menyiapkan produksi massal untuk alat bantu pernapasan tipe darurat pada pertengahan Juli 2020. Sementara itu, produksi untuk ventilator tipe ICU akan dilakukan pada akhir Juli 2020.
“Kami sangat bangga atas capaian itu, karena menunjukkan bahwa dalam pembuatan ventilator ini, industri dalam negeri dapat memproduksi secara lokal semua komponen mekanik dengan kandungan lokal hingga 80%,” paparnya.
Pada industri farmasi, saat ini Indonesia memiliki lebih dari 220 perusahaan, di mana 90% dari mereka berfokus pada industri hilir seperti produksi obat-obatan. “Sementara untuk mengatasi ketergantungan impor, kami berkolaborasi dengan para stakeholder utama untuk menyusun kebijakan dan peraturan dalam membangun ekosistem industri yang kondusif sehingga Indonesia bisa mandiri,” ujar Agus.
Melangkah ke fase new normal, Menperin menargetkan tercapainya 35% substitusi impor pada tahun 2022. “Kami sedang menyusun kebijakan-kebijakan yang dapat menarik investor asing dan domestik untuk berinvestasi dalam menghasilkan produk substitusi impor, juga untuk meningkatkan penggunaan bahan baku yang diproduksi secara lokal dan barang setengah jadi,” jelasnya.