MONITOR, Jakarta – Kementerian Pertanian (Kementan) berkomitmen untuk terus melindungi petani cabai dari fluktuasi harga. Kementan, melalui Direktorat Jenderal Hortikultura menyiapkan sejumlah upaya antisipatif. Salah satunya melalui teknik budidaya tumpangsari.
Tumpangsari sebenarnya sudah biasa dilakukan petani. Namun yang perlu diperhatikan adalah jenis yang ditanam dan waktunya. Kapan bisa dilakukan tumpangsari.
Direktur Sayuran dan Tanaman Obat Ditjen Hortikultura Kementan, Tommy Nugraha menjelaskan bahwa Direktorat Jenderal Hortikultura secara rutin setiap bulan memberikan peringatan dini ke seluruh Dinas Pertanian Provinsi, melalui data Early Warning System (EWS). Ini sebagaimana arahan Menteri Pertanian, Syahrul Yasin Limpo (SYL) di tiap kesempatan.
“Untuk memantau ketersediaan cabai hingga tiga bulan ke depan. Dinas Pertanian diharapkan menyosialisasikannya ke seluruh petani di wilayahnya sehingga petani dapat mengatur pertanamannya, ” ujar dia melalui keterangan tertulisnya, Jumat (12/6).
Tommy mengatakan, jika surplusnya diprediksi akan tinggi, maka ada kemungkinan harga jatuh sehingga petani dapat mengantisipasi kerugian.”Salah satunya dengan tumpangsari,” tambah dia.
Selain untuk mengantisipasi kerugian karena rendahnya harga dari satu produk, tumpangsari juga memiliki banyak manfaat lainnya. Seperti optimalisasi pengunaan lahan, hemat lahan dan hemat biaya pengolahan lahan karena dalam satu lahan bisa ditanami lebih dari satu komoditas, serta dapat meminimalisir pertumbuhan rumput-rumput liar.
Menurut Tommy, budidaya cabai dapat ditumpangsari dengan berbagai jenis sayuran lainnya yang memiliki nilai ekonomi tinggi termasuk umur panennya lebih pendek. Seperti bawang merah, bawang daun, kubis, sawi, caisin, tomat, dan masih banyak tanaman lainnya untuk ditanam secara tunpangsari.
“Dengan demikian, selama menunggu cabainya panen, petani memperoleh pendapatan dari hasil panen komoditas lainnya. Jika pada saat panen harga cabainya jatuh, harapannya petani masih mendapat untung dari komoditas lainnya,” beber dia.
Sebagai contoh, Juhara – champion cabai asal Bandung saat dihubungi pada kamis (11/06) mengatakan bahwa dirinya saat ini tanam cabai tumpangsari dengan sawi, kubis, dan tomat seluas 4 hektar. Meskipun harga cabai murah, dia tidak khawatir karena ada substitusi pendapatan dari sayuran lainnya.
“Alhamdulillah meskipun harga cabai jatuh, saya masih mendapat keuntungan dari hasil panen tomat. Harga tomat saat ini sedang tinggi-tingginya. Mencapai Rp 6.000 – 9.000 per kilogram sementara BEPnya hanya Rp 2.000,- per kilogram,” ungkap Juhara Bangga.
Tak hanya Juhara, champion cabai di Kabupaten Sumedang, Aseng juga memiliki cerita yang sama. Pihaknya saat dihubungi terpisah, mengatakan bahwa saat ini harga cabai keriting lagi jatuh, namun dia masih untung karena pertanaman cabainya ditumpangsari dengan tomat.
“Luasnya 10 ha tomat dengan produktivitas 25-30 ton per hektar dan harga Rp 6.000,- kilogram. Alhamdulillah hasilnya kami sudah dua kali ibadah umrah bersama keluarga tercinta,” beber dia.
Dia bersyukur meskipun harga cabai merah keriting saat ini anjlok, tanamannya tetap terawat.
“Untungnya saya tumpangsari dengan tomat sehingga saya masih memperoleh pendapatan dari tomat yang harganya saaat ini cukup tinggi yakni Rpp 6.000 per kilogram,” tandasnya.
Tommy berharap pengalaman petani-petani unggul tersebut dapat dicontoh dan dilakukan oleh petani-petani lainnya.
“Petani harus pandai membaca peluang dan memilih jenis komoditas yang sedang tidak banyak ditanam. Namun juga tetap memperhatikan dan mengatur pola tanam, modifikasi budidaya cabai dengan tumpangsari perlu dilakukan agar petani tetap untung,” tutup Tommy.