Selasa, 1 Juli, 2025

Perempuan, Politik dan Parlemen

Oleh: Imron Wasi*

GERAKAN sosial feminis global, terutama di Indonesia, telah melahirkan sejumlah keputusan yang begitu amat krusial bagi pertumbuhan dan perkembangan demokratisasi. Selain itu, terciptanya keputusan itu, telah memberikan keleluasaan bagi perempuan dalam mobilitas sosialnya di ruang-ruang publik.

Sebagaimana perwujudan dari feminisme liberal yang memiliki tujuan untuk menjamin bahwa laki-laki dan perempuan memiliki akses yang sama pada lingkup ‘publik’, yang didukung oleh hak untuk mendapatkan pendidikan, memberikan suara dan berpartisipasi dalam kehidupan politik, untuk mengejar karier dan sebagainya. Andrew Heywood dalam Politik Global, edisi kedua (2017: 746-747).

Pembahasan mengenai keterlibatan perempuan di dalam politik dan pemerintahan menjadi agenda penting yang selalu dibahas di pelbagai kesempatan oleh sejumlah pihak, terutama oleh para aktivis, pejuang maupun aktor atau sebutan serupa lainnya.

Keterlibatan perempuan di ranah publik amat diperlukan untuk mewujudkan sejumlah misi perempuan yang selama ini, yang secara kasat mata, belum terwujud dengan optimal.

Dengan demikian, seiring berkembangnya dinamika politik domestik dan transnasional telah membuahkan hasil yang signifikan. Misalnya, Indonesia sedari awal telah merativikasi sejumlah regulasi ihwal keterlibatan perempuan dalam politik.

Bahkan, dengan berkembangnya politik di negara-negara dunia ketiga, hasil dari rativikasi sejumlah regulasi itu telah menciptakan kesempatan yang besar bagi perempuan untuk dapat mengikuti serangkaian proses politik praktis di Indonesia, terutama di lembaga parlemen.

Tak berhenti sampai di situ, secara gamblang hal ini juga dipertegas dalam sejumlah regulasi: baik itu Undang-Undang Partai Politik maupun Undang-Undang Pemilihan Umum (Pemilu) yang selalu mengalami perubahan.

Setelah dua dasawarsa berlalu pasca-reformasi, terdapat sejumlah peningkatan terhadap akses bagi perempuan untuk terlibat secara aktif di ranah-ranah publik.

Hal ini dicirikan dengan meningkatnya sejumlah representasi perempuan dalam lembaga legislatif (pusat-daerah), meskipun secara eksplisit belum memenuhi prospek yang selama ini diejawantahkan dalam regulasi sebesar 30 persen. Seperti yang telah terjadi di DPRD Kabupaten Lebak.

Pada kesempatan kali ini, penulis akan mengulas keterlibatan perempuan di parlemen, atau lebih populernya di DPRD Kabupaten Lebak. Di sisi lain, secara realitas, setelah dua dekade reformasi ini, sejauh mana perhatian sejumlah partai-partai politik terhadap perempuan?

Lalu, bagaimana tingkat keterwakilan perempuan di DPRD Kabupaten Lebak 2014-2019? Apabila tingkat keterwakilan masih belum mencapai kebijakan affirmative action, lalu apa yang menjadi penyebabnya?

Mengapa keterlibatan perempuan dalam lembaga parlemen itu sangat penting? Dan, bagaimana dengan kinerja/atau kontribusi anggota parlemen yang berjenis perempuan periode 2014-2019 ini?

Sejumlah pertanyaan ini layak diajukan, untuk mengetahui sejauh mana gerakan sosial yang dibangun oleh perempuan di bidang politik, terutama di lembaga legislatif.

Perempuan di Parlemen
Dalam pelbagai kesempatan, terutama di ruang publik, seperti, pekerjaan, perempuan kerap diposisikan sebagai second line position. Mengapa hal ini bisa terjadi? Padahal, secara kualifikasi antara laki-laki dan perempuan mempunyai kapasitas, kapabilitas, dan integritasnya masing-masing yang tidak bisa dibedakan di antara keduanya, kecuali persepsi-persepsi masyarakat yang berkembang itu adalah hasil dari pembentukan secara kultural.

Persepsi-persepsi lainnya, misalnya, bahwa perempuan tidak akan jauh dari rutinitas/atau aktivitas di wilayah domestik (sumur, kasur, dan dapur), meskipun sosok perempuan itu sudah melakukan studi sampai ke tingkat yang lebih tinggi.

Dan, hal ini, tentunya menjadi salah satu dari seluruh sebab yang ada, mengenai masih terdapatnya diskriminasi yang dialami oleh perempuan. Faktor-faktor bahwa secara realitas di ruang-ruang publik ini menunjukkan dominasi laki-laki. Sehingga membuat posisi laki-laki lebih superioritas.

Semestinya asas meritokrasi pun menjadi indikator utama atau dijunjung tinggi dalam negara demokratis seperti Indonesia, agar perempuan bisa memengaruhi keadaan dengan metode yang lebih lunak. Seperti, melalui atau terlibat dalam politik praktis, terutama di parlemen.

Agar kebijakan publik itu benar-benar merepresentasikan dan memerhatikan keinginan, harapan, dan aspirasi dari masyarakat. Dengan kata lain, kebijakan yang diformulasikan harus berorientasi pada nilai-nilai kebutuhan masyarakat, khususnya kebutuhan perempuan dan anak serta dapat pula untuk melindunginya dari aksi-aksi yang merugikan perempuan dan anak.

Lantas, untuk mengetahui perhatian sejumlah partai-partai politik peserta pemilu terhadap keterwakilan perempuan di parlemen pada 2014 yang lalu, bisa kita lihat dari hasil Daftar Calon Tetap (DCT) yang telah disahkan oleh penyelenggara pemilu melalui Surat Keputusan (SK) yang diseleksi sebelumnya dan dari nama Daftar Calon Sementara (DCS).

Pada Pemilihan Umum (Pemilu) Legislatif 2014 di Kabupaten Lebak diikuti oleh sejumlah partai politik, yaitu: Partai Nasional Demokrat, Partai Kebangkitan Bangsa, Partai Keadilan Sejahtera, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Partai Golongan Karya, Partai Gerakan Indonesia Raya, Partai Demokrat, Partai Amanat Nasional, Partai Persatuan Pembangunan, Partai Hati Nurani Rakyat, Partai Bulan Bintang, dan Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia.

Seluruh partai politik yang mengikuti proses Pemilu Legislatif 2014 di Kabupaten Lebak secara menyeluruh telah memenuhi persyaratan keterwakilan yang telah dimuat oleh regulasi sebesar 30 persen.

Namun, dalam praksisnya, sejumlah partai politik belum optimal mewujudkan keterwakilan perempuan di parlemen. Dengan kata lain, meskipun sejumlah partai politik telah memenuhi persyaratan 30 persen diawal, saat diseleksi oleh penyelenggara pemilu, tapi malah mengalami penurunan yang sangat dramatis ketika di lembaga legislatif.

Sebagaimana yang telah dikemukakan oleh Isnaini Anis Farhah dalam studi penelitiannya, Partai Politik dan Keterwakilan Perempuan, Analisis Problematika Partai Politik dalam Memenuhi Keterwakilan Perempuan di DPRD Kabupaten Lebak Periode 2014-2019, hal 9, Daftar Calon Tetap Pemilihan Umum Legislatif Tahun 2014 di Daerah Pemilihan Banten 8 (Kabupaten Lebak), bahwa Partai Nasional Demokrat mewakili 17 caleg perempuan (36,17%), Partai Kebangkitan Bangsa mewakili 16 caleg perempuan atau sebesar (37,20%), Partai Keadilan Sejahtera mewakili 15 caleg perempuan (36,58%), Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan merepresentasikan 16 caleg perempuan (32%), Partai Golongan Karya mewakili 18 caleg perempuan (36%), Gerakan Indonesia Raya mewakili sebanyak 17 caleg perempuan (35,41%), Partai Demokrat mewakili 19 (39,58%), Partai Amanat Nasional 14 caleg perempuan (36,84%), Partai Persatuan Pembangunan mewakili mewakili 16 caleg perempuan (47.05%), Partai Hati Nurani Rakyat 18 caleg perempuan (36%), Partai Bulan Bintang mewakili 6 caleg perempuan (35,29%), dan Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia mewakili 7 caleg perempuan (43,75%).

Berdasarkan data di atas memang menunjukkan bahwa sejumlah partai politik yang mengikuti konstelasi Pemilu Legislatif 2014 di Kabupaten Lebak memang sudah memenuhi persyaratan agar memerhatikan keterwakilan perempuan, bahkan bisa kita lihat pada data yang tersaji di atas bahwa seluruh partai politik itu melewati angka persentase sebesar 30 persen.

Ini angka yang cukup untuk membuktikan bahwa parpol benar-benar menjalankan kaderisasi dan pemberian pendidikan politik. Namun, ini justru bersifat kontradiktif dengan temuan penulis ketika melakukan wawancara mendalam pada saat melakukan studi, dan dari sejumlah anggota DPRD Kabupaten Lebak 2014 yang berjenis perempuan yang berhasil diwawancarai mengatakan, bahwa mereka diminta dan didorong untuk maju dalam Pemilu Legislatif. Lebih lanjut, tujuannya jelas yaitu karena untuk memenuhi kouta 30 persen.

Dengan kata lain, faktor eksternal yang mula-mula mendorongnya. Dan, secara hasil dari Pemilu Legislatif 2014 itu, partai politik hanya mewakili 7 (tujuh) orang perempuan di parlemen dari jumlah populasi kursi sebanyak 50 kursi. Jadi, hanya sebagian partai politik yang berhasil menduduki wakil perempuannya di parlemen.

Seperti, PDIP, NasDem, PPP, dan PKS. Seperti yang tersaji pada hasil penelitian penulis mengenai Partisipasi Politik Perempuan dalam Pemilu Legislatif di Kabupaten Lebak Tahun 2014-2019, hal 26, Jumlah Anggota DPRD Kabupaten Lebak Menurut Nama-Nama Partai dan Jenis Kelamin Tahun 2014-2019.

Secara holistik, dari seluruh partai politik peserta Pemilu Legislatif 2014 di DPRD Kabupaten Lebak memperlihatkan hanya empat parpol yang merepresentasikan kader perempuannya di parlemen, di antaranya: PDIP mewakili 3 orang, PPP 2 orang, NasDem 1 orang, dan PKS 1 orang. Dengan demikian, dari populasi kursi yang ada di DPRD Kabupaten Lebak 2014 sebanyak 50, masih didominasi oleh laki-laki sebanyak 43 orang. Dan, perempuan diwakili oleh 7 orang di DPRD Kabupaten Lebak.

Menilik data yang disajikan di atas, memperlihatkan bahwa hanya 10 (sepuluh) partai politik yang berhasil memperoleh kursi di DPRD Kabupaten Lebak. Sebagian besar, parpol yang berhasil memperoleh atau menempatkan kadernya adalah parpol besar.

Pada dasarnya, sejumlah partai politik memiliki alokasi anggaran dari APBN/APBD yang disesuaikan dengan perolehan suara pada saat proses elektoral yang sudah dilakukan. Subsidi anggaran yang telah dikeluarkan oleh negara (pusat-daerah) diperuntukkan untuk aktivitas parpol, semacam memberikan pendidikan politik dan kaderisasi.

Ketidakberhasilan parpol dalam mendorong keberhasilan perempuan di DPRD Kabupaten Lebak memang kurang optimalnya perhatian yang ditunjukan. Secara kasat mata, partai politik akan disibukkan ketika menjelang proses konstelasi politik, dengan mempersiapkan segala sesuatunya untuk bertarung di Pemilu Legislatif.

Sedangkan, kegiatan pemberian pendidikan politik itu minim sekali dilakukan, khususnya terhadap perempuan. Bahkan, seolah serampangan; hanya sekadar untuk memenuhi kouta 30 persen.

Hal ini dibuktikan dengan perempuan yang diajak untuk maju dalam Pemilu Legislatif oleh sejumlah partai politik yang bersangkutan, tanpa memperhatikan kapasitas, kapabilitas, dan jejak rekam.

Sehingga, hal ini akan berdampak dan mempunyai implikasi terhadap kinerja anggota DPRD Kabupaten Lebak yang berjenis perempuan. Seyogianya, partai politik perlu berbenah diri untuk membangun struktur politik yang baik dengan memerhatikan segala aspek, termasuk memerhatikan perempuan dalam internal parpol dan di ruang-ruang publik (parlemen) lainnya.

Hal ini perlu dilakukan untuk menghindari bias gender dalam pembangunan. Oleh karena itu, peningkatan sejumlah kader perempuan yang maju perlu diperhatikan lebih optimal. Artinya, perlu dikawal sampai duduk di kursi parlemen.

Akan tetapi, sebelum pengawalan itu dilakukan, perlunya diberikan pembinaan maupun pelatihan yang intensif bagi sejumlah kader, terutama perempuan, untuk memahami sejumlah fungsi, tugas, dan segala ihwal lainnya yang memiliki korelasi dengan kinerjanya selama lima tahun ke depan. Dan, parpol juga tidak boleh mendikotomikan, antara kader lama dan kader baru. Semuanya, memiliki hak yang sama untuk diberikan pendidikan politik.

Kinerja Wakil Rakyat Perempuan 2014
Berdasarkan uraian yang telah diulas di atas menjelaskan bahwa pada 2014 silam, di DPRD Kabupaten Lebak diwakili oleh sejumlah 7 (tujuh) anggota parlemen perempuan. Secara persentase, hanya diwakili sebanyak 14 persen, dan otomatis tidak memenuhi kouta sebesar 30 persen yang secara istimewa sudah dimuat dalam konstitusi.

Pada saat yang sama, yakni 2014 silam di DPRD Kabupaten Lebak, salah satu dari 7 anggota perempuan, satu anggota DPRD Kabupaten Lebak mengalami Pergantian Antar Waktu (PAW). Dan, digantikan oleh kader partai yang sama dari jenis laki-laki. Sehingga, mengalami penurunan, yang awalnya 7 (tujuh), kini menjadi 6 (enam) anggota perempuan.

Selain itu, jika menelusuri hasil Pemilu Legislatif sebelumnya, yakni pada 2009, secara eksplisit memang keterwakilan perempuan di DPRD Kabupaten Lebak tidak mencapai hak istimewa yang telah dimuat oleh regulasi.

Artinya, mendapatkan atau merepresentasikan keterwakilan perempuan di parlemen sebanyak 7 (tujuh) anggota perempuan di DPRD Kabupaten Lebak. Di satu pihak, mengalami peningkatan dari Pemilu Legislatif 2004 silam, yang hanya mewakili 3 (tiga) anggota perempuan.

Namun, di sisi yang lain, jumlah kursi pada Pemilu 2004 hanya sebesar 45 kursi, yang berbeda dengan jumlah kursi pada Pemilu 2009, yakni sebanyak 50 kursi. Dengan demikian, tidak terjadi perubahan angka persentase wakil rakyat yang berjenis perempuan di DPRD Kabupaten Lebak dari tahun 2009 dan tahun 2014. Artinya, tetap berada di angka 14 persen. Akibatnya, kebijakan affirmatif action ini belum sepenuhnya terisi penuh, dan secara faktual masih belum akomodatif terhadap aspirasi dan kebutuhan perempuan.

Keterlibatan perempuan dalam politik sangatlah penting, karena untuk mendukung seluruh upaya dari pihak perempuan yang amat rentan terhadap kekerasan. Tak luput juga, terkadang perempuan kerap mengalami tindakan-tindakan yang diskriminatif dari sistem atau budaya politik yang kurang memerhatikan perempuan atau bias gender ini.

Oleh karena itu, keterlibatannya dalam dunia politik praktis amatlah penting, sebagai manifestasi dari representasi kaum perempuan yang juga sebagai refleksi sosial dari ketertindasan yang selama ini dirasakan.

Oleh sebab itu, apabila sudah berada di parlemen, anggota parlemen perempuan ini dituntut untuk bersifat akomodatif terhadap kepentingan perempuan, bukan malah melupakan atau tidak memperjuangkan aspirasinya. Padahal, manusia memiliki watak yang bersifat androgini.

Meminjam perspektif akademik yang dikemukakan oleh Heywood (2017), bahwa androgini adalah kepemilikan karakteristik laki-laki dan perempuan; digunakan untuk menyatakan bahwa manusia adalah ‘person-person’ yang tidak berjenis kelamin dalam pengertian bahwa jenis kelamin tidak berpengaruh pada peran sosial dan politik mereka.

Ada pelbagai faktor tentunya yang masih menghinggapi keengganan sosok perempuan terlibat secara aktif di politik praktis; baik itu hambatan yang ada di internal maupun eksternal. Namun, secara empiris, bahkan hal tersebut dapat dilihat dengan adanya suatu studi para ahli, temasuk pada tingkat massa, sejumlah studi telah menemukan bahwa perempuan umumnya kurang tertarik (Jennings dan Niemi, 1981; Verba dkk., 1995), dan kurang mengetahui politik dibandingkan dengan laki-laki (Delli Carpini dan Keeter, 1996). (Holli A. Semetko dan Margaret Scammell (2016:302))

Selain itu, masih menguatnya budaya patriarki juga menjadi penunjang masih minimnya keterwakilan perempuan untuk terlibat dalam politik praktis. Stereotipe yang berkembang, seperti pemikiran konservatif yang masih mengakar menjadikan hambatan bagi perempuan.

Pada saat yang sama, studi itu terbukti saat penulis melakukan wawancara. Dari sebagian anggota DPRD Kabupaten Lebak yang telah berhasil diwawancarai, khususnya yang berjenis perempuan mengatakan bahwa keterlibatannya maju menjadi calon legislatif memang atas dorongan partai. Dengan kata lain, tidak ada niatan dari dalam diri untuk maju.

Namun, berhubung didorong oleh parpol untuk memenuhi kouta 30 persen dan atas dorongan keluarga, akhirnya maju. Dengan kehadiran kebijakan yang memuat keterwakilan perempuan ini semestinya dapat dioptimalkan dengan baik. Karena, ini adalah hak privilese yang diberikan negara untuk memerhatikan perempuan. Dengan kata lain, dorongan secara individu atau internal kurang begitu dominan.

Selanjutnya, dengan jumlah 6 (enam) orang perempuan DPRD di Kabupaten Lebak 2014 yang lalu kurang optimal. Sebab, tidak sebanding dengan jumlah kursi yang diperoleh laki-laki sebanyak 43 (empat puluh tiga) dan tentunya akan bermuara pada tingkat kinerja.

Seperti yang telah penulis telusuri, tidak ada produk politik baru yang dibuat oleh lembaga legislatif di DPRD Kabupaten Lebak 2014 yang berkenaan dengan perempuan dan anak. Regulasi yang mengatur seputar perempuan dan anak memang sudah ada. Akan tetapi, regulasi itu sudah diterapkan pada 2013 yang lalu. Aàrtinya, sebelum anggota DPRD Kabupaten Lebak 2014 yang berjenis perempuan ada, regulasi itu sudah ada sejak awal. Regulasi itu dimuat dalam Peraturan Daerah Kabupaten Lebak Nomor 8 Tahun 2013 Tentang Perlindungan Perempuan dan Anak Korban Kekerasan.

Dari hasil wawancara yang telah dilakukan penulis dengan pihak terkait, DP2KBP3A, yang dalam hal ini diwakili oleh Kepala Bidang (Kabid) Perlindungan dan Pemberdayaan Perempuan dan satu rekan kerjanya, yang mengatakan bahwa angka kekerasan terhadap perempuan meningkat sejak 2014-2019 (2019, sampai bulan Mei).

“Berdasarkan data yang saya terima megenai kekerasan terhadap wanita, pelecehan seksual dan lain sebagainya di Kabupaten Lebak sejak 2014-2019 mengalami peningkatan. Hal itu disebabkan karena beberapa faktor, seperti, pengaruh perkembangan teknologi (media sosial dan lain-lain), pengawasan orangtua terhadap putra-putri-nya, lembaga pendidikan juga perlu mengontrol siswa-nya dan memberikan edukasi yang sesuai kurikulum. Perkembangan teknologi perlu kita waspadai, apalagi digunakan oleh anak-anak. Faktor lainnya yakni pengaruh dan kontrol keluarga, pengaruh lingkungan. Para pelaku ini tidak jera karena tidak ada produk hukum yang menjerat pelaku, rendahnya pengetahuan para pelaku terhadap regulasi dan dampak pasca-tindakan yang telah dilakukannya.” (Hj. Nani Suryani selaku Kepala Bidang (Kabid) Perlindungan dan Pemberdayaan Perempuan dan satu rekan kerjanya, 15 Mei 2019).

Namun, berdasarkan penelusuran penulis, angka kekerasan yang terjadi terhadap perempuan dan anak bersifat fluktuatif. Artinya, kadang mengalami peningkatan maupun penurunan setiap tahunnya. Berdasarkan data yang diperoleh dari DP2KBP3A Kabupaten Lebak mengenai Perkembangan Data Kasus Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak di Kabupaten Lebak yang menyebutkan, bahwa pada 2011 sebanyak 47 kasus; diikuti pada tahun berikutnya 2012, yang mengalami peningkatan menjadi 53 kasus; kemudian menurun pada 2013, menjadi 21 kasus; lalu mengalami kenaikan pada 2014 sebanyak 31 kasus; dan turun kembali pada 2015 menjadi 21 kasus; pada tahun 2016 sebanyak 25 kasus; pada 2017 sebanyak 29 kasus; pada 2018 sebanyak 25 kasus; dan pada 2019 sampai bulan Mei, terhitung sejak penulis melakukan wawancara sekaligus memperoleh data ini, hanya 20 kasus.

Namun demikian, dari sejumlah kasus kekerasan yang terjadi terhadap perempuan dan anak mesti menjadi pelajaran bagi semua pihak agar bersama-sama melakukan upaya atau langkah-langkah yang tepat.

Agar tidak terjadi kembali aksi kekerasan maupun diskriminasi lainnya terhadap perempuan dan anak. Kemudian, partai politik perlu secepatnya mengaktualisasikan pendidikan politik, tidak serampangan dalam menentukan calon legislatif perempuan, serta agar lebih ditingkatkan kembali sosialisasi mengenai edukasi politik, termasuk mendeskripsikan kebijakan affirmative action ini yang tentunya memiliki privilese yang baik. Dan, mendorong sejumlah anggota DPRD Kabupaten Lebak, terutama perempuan agar mampu vokal dan akomodatif terhadap kepentingan masyarakat, secara spesifik kepentingan kaum perempuan dan anak.

*Penulis adalah Peneliti di Banten Institute for Governance Studies (BIGS)

- Advertisement -

BERITA TERKAIT

TERPOPULER