Boy Anugerah *
COVID-19 telah menjadi momok menakutkan bagi siapapun yang hidup di muka bumi saat ini. Bukan saja karena wabah ini telah menghantam hampir seluruh negara di dunia dan menewaskan banyak orang, tapi pandemi ini juga telah memberikan ekses negatif dalam hubungan antarnegara. Donald Trump misalnya, tanpa segan menyebut COVID-19 sebagai ‘virus Tiongkok’, meskipun Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah menyatakan bahwa nama resmi untuk penyakit coronavirus baru tersebut sebagai coronavirus disease 2019 atau COVID-19 dan memastikan bahwa nama tersebut tidak merujuk pada Wuhan, sebuah kota di Tiongkok tempat virus tersebut berasal.
Pernyataan Trump ini akhirnya berkembang menjadi bola liar di negeri Paman Sam. Sekutu Trump yang juga seorang kolumnis sayap kanan, Ben Saphiro, melalui media sosial dan kolom yang dipublikasikan, secara konsisten menggunakan istilah ‘virus Tiongkok’ tersebut dengan tujuan menjadikan Tiongkok sebagai pihak paling bertanggungjawab atas penyebaran pandemi ini. Senator Tom Cotton dari Arkansas malah memberi pernyataan yang lebih ekstrem dan sedikit berbau konspirasi. Ia menyebut virus ini berasal dari fasilitas militer yang berada di dekat Wuhan, serta dikerahkan sebagai operasi militer.
Apa yang dilakukan oleh Trump dan sekutunya dari Partai Republik ini pada dasarnya bukanlah barang baru. Pandemi dalam sejarah penyebarannya, selalu diwarnai oleh konflik dan intrik politik antarnegara. Ada beragam motif yang mendasarinya, mulai dari saling lempar tanggung jawab, hingga upaya untuk meruntuhkan kredibilitas negara lainnya di panggung internasional.
Dalam konteks sosial budaya, pandemi berdampak negatif terhadap meningkatnya diskriminasi ras dan etnis sebagai efek turunan dari konflik dan intrik politik antarnegara. Ada banyak fakta empirik yang mendukung pernyataan ini.
Pagebluk flu Spanyol yang terjadi pada 1918 dan 1919, serta menewaskan sedikitnya 50 juta orang di seluruh dunia, dipercayai oleh warga Amerika Serikat dan juga oleh masyarakat dunia sebagai wabah yang berasal dari Spanyol, seperti nama yang dilekatkan pada virus tersebut. Padahal secara faktual, kasus ini pertama kali dicatat di Kansas. Hanya saja karena virus ini menyebar melalui Amerika Serikat dan negara-negara Eropa selama Perang Dunia I, negara-negara yang berperang secara aktif menyensor cakupan wabah tersebut. Spanyol yang bertindak sebagai negara netral dan aktif melaporkan penyebaran wabah akhirnya mendapatkan stigma seolah-olah wabah tersebut berasal dari sana.
Sejarah konflik di tengah pandemi kemudian terus berulang. Pandemi flu 1957-1958 yang pertama kali diidentifikasi di Tiongkok kemudian disebut sebagai ‘flu Asia’. Pandemi flu pada 1968-1969 yang pertama kali diidentifikasi di Hongkong kemudian disebut sebagai ‘flu Hongkong’. Namun demikian ada hal yang unik pada saat flu H1N1 merebak pada 2009 dan 2010. Meskipun menurut Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Amerika Serikat (CDC), virus ini pertama kali ditemukan di Amerika Serikat, namun tidak disebut sebagai ‘flu Amerika’. Sampai hari ini, banyak warga Amerika Serikat yang masih menganggap H1N1 sebagai virus asing.
Pandemi COVID-19 yang belum bisa diprediksi kapan akan berakhir ini tidak dimungkiri memberikan rasa tidak nyaman kepada warga Tiongkok yang berdiaspora di banyak negara. Terlepas dari fakta bahwa virus ini memang berkembang dan pertama kali ditemukan di Wuhan, perlakuan yang mereka terima dari banyak negara terkesan tidak proporsional.
Di Ontario, Kanada, ribuan orang tua mengajukan petisi kepada Dewan Sekolah menuntut agar para siswa keturunan etnis Tiongkok untuk tetap berada di rumah, untuk meminimalisasi penyebaran. Di Prancis, muncul istilah ‘siaga kuning’ dan ‘bahaya kuning’ yang menganggap warga etnis Tiongkok sebagai bahaya laten penyebaran virus.
Beragam fenomena tersebut menyiratkan makna bahwa cara pandang banyak negara dalam menyikapi pandemi, apalagi pandemi yang bersifat global dan meluluhlantakkan perekonomian, kerap diwarnai oleh motif politik. Sikap Amerika Serikat pada masa lampau yang menolak penyebutan H1N1 sebagai ‘flu Amerika’ meskipun kasus pertama kali ditemukan di wilayahnya, namun kini justru persisten menyebut COVID-19 sebagai ‘virus Tiongkok’, seakan menegaskan bahwa mereka merupakan aktor internasional yang paling piawai dalam menerapkan standard ganda dalam meraih kepentingan nasionalnya. Kompetisi dengan Tiongkok dalam meraih prestis sebagai negara adidaya seolah tak berhenti karena pandemi COVID-19, tapi justru menjadi babak baru konflik dengan menjadikan COVID-19 itu sendiri sebagai peluru tembak.
Sikap Amerika Serikat semakin kental beraroma unilateralisme ketika berencana untuk memutus bantuan finansial kepada WHO dalam penanganan wabah. Trump dan jajarannya berpendapat bahwa ada kongkalikong antara WHO dan Tiongkok di balik wabah ini. Sikap ini tentu saja sangat disayangkan mengingat, pertama, Amerika Serikat adalah donor terbesar untuk WHO, dan kedua, WHO saat ini membutuhkan logistik finansial yang kuat untuk melakukan supervisi penanganan COVID-19 secara global.
Secara implisit, Amerika Serikat hendak meminta tanggung jawab moral dan finansial Tiongkok terkait penyebaran wabah dengan memberikan kontribusi maksimal melalui WHO. Langkah Amerika Serikat ini direspons oleh sekutu Eropanya seperti Prancis dan Inggris yang tak segan mendiskriminasi warga keturunan Tiongkok melalui berbagai pelabelan yang bersifat rasisme.
Sungguh ironis, di tengah terjangan pandemi COVID-19 yang tidak pandang bulu; negara besar atau kecil, bangsa kulit putih atau kulit berwarna, negara maju atau negara berkembang, masih ada pihak-pihak yang enggan bergandengan tangan dalam kerangka kerja sama global untuk menangani COVID-19 secara bersama-sama.
Amerika Serikat dan beberapa negara Eropa masih terjebak pada pola fikir realisme klasik yang mengedepankan kepentingan nasional semata. Hal ini semakin diperburuk oleh paham supremasi sebagai bangsa adidaya. Inilah yang kiranya menjelaskan mengapa pandemi COVID-19 ini begitu masif terjadi di Amerika dan Eropa. Masyarakat di wilayah tersebut masih beranggapan bahwa COVID-19 merupakan milik asing, sehingga mereka tidak mengambil tindakan yang cukup memadai untuk keselamatan dirinya sendiri.
Pandemi COVID-19 seyogianya dimaknai sebagai peluang untuk memperkuat kerja sama global, baik melalui mekanisme multilateral, maupun yang sifatnya regional. Pertukaran informasi mengenai arus mobilisasi warga negara, koordinasi mengenai temuan kasus baru, solidaritas global untuk menopang perekonomian negara-negara lemah, sikap respek terhadap penerapan kebijakan di masing-masing negara, hingga kerja sama intens dalam bentuk riset global secara strategis untuk menemukan obat penawar virus adalah hal-hal yang selaiknya dilakukan bersama. Ibarat sedang bermain game, diperlukan strategi AALD (selalu bersatu) dan AALC (terus menyerang) ke satu titik, yakni menghentikan sumber dan mata rantai penyebaran virus. Bukan berkonflik dan menebar intrik politik satu sama lain.
Di tengah perang versi baru antara Amerika Serikat dan Tiongkok dengan menggunakan isu COVID-19 sebagai bahan konflik, dibutuhkan kepemimpinan global dan role model baru untuk menyatukan visi-misi melawan COVID-19. Dibutuhkan aktor internasional, entah negara ataupun aktor non-negara, yang mampu mengajak seluruh negara di dunia untuk menjalankan strategi Tit for Tat (TFT) agar keluar dari sengkarut tentang siapa yang paling bersalah dalam penyebaran wabah ini, dan siapa yang harus berdiri di front terdepan perlawanan. Di sinilah permasalahannya. Kepemimpinan global tersebut masih sulit muncul mengingat semua negara dibekap oleh virus ini dan harus berkutat dengan kepentingan masing-masing untuk keluar dari krisis perekonomian.
Terlepas dari segala dilema dan konflik di seputaran wabah COVID-19 ini, tetap ada sisi menarik yang bisa dijadikan pembelajaran. Every cloud has a silver lining. Turki, Iran, Arab Saudi, dan Israel, empat poros kekuatan di Timur Tengah yang selama ini kerap bertikai satu sama lain, sepakat untuk sementara melakukan ‘gencatan senjata’. Mereka lebih memilih fokus pada penanganan COVID-19 di wilayah masing-masing, bahkan tak segan berkoordinasi untuk mencegah penyebaran virus melalui pergerakan warga negaranya. Fenomena ini tentu saja merupakan angin segar dalam praktik hubungan antarnegara. There is no permanent enemy and friend, but there is just permanent interest. Setidaknya masih ada sedikit damai di balik wabah mematikan ini, tak melulu konflik.
*) Anggota PA GMNI Bidang Politik Luar Negeri dan Pertahanan Keamanan 2015-2020 / Mahasiswa Pascasarjana Studi Kepemerintahan dan Kebijakan Publik di SGPP Indonesia.