Oleh: Ruchman Basori*
Anjuran agar kita berdiam diri di rumah (stay at home) sebagai ikhtiar untuk meredam laju covid-19 telah mendatangkan hal-hal baru. Tradisi baru yang saya kira positif apalagi dalam mengisi amaliyah ramadlon.
Belajar di rumah, bekerja dari rumah dan beribadah di rumah sebagai pengejawantahan dari berdiam diri di rumah, tengah melahirkan semangat, kreasi dan inovasi. Bagi orang-orang tertentu bisa bertambah produktif dan mendatangkan tambahan manfaat dari waktu-waktu sebelumnya.
Digelarnya berbagai pengajian kitab kuning dari mulai yang paling dasar sampai kitab-kitab kelas tinggi salah satunya. Semula model sorogan atau bandongan yang biasa dilakukan di pondok pesantren, kini bisa kita nikmati melalui chanel youtub, facebook, instagram bahkan bisa melalui partisipasi langsung dengan zoom.
Alumni-alumni pesantren yang biasanya karena kesibukannya, tidak sempat membuka fasal demi fasal, bait demi bait, kini mengkaji kitab kuning layaknya di pesantren dengan beragam keilmuan, tauhid, fiqih, ushul fiqih, falak, tafsir, hadits, sejarah hingga sastra. Sungguh tradisi baru yang membanggakan kita.
Pada saat yang sama, para kyai dan ustadz di pesantren yang memang sudah menjadi kebiasaan dan menjadi panggilan hidupnya mengajar di lembaga warisan Walisongo itu, kini juga berkreasi menggelar pengajian virtual. Penulis sendiri kerap menyimak pengajian kitab secara virtual KH. Mustofa Bisri (Gus Mus), KH. Yahya Cholil Tsaquf dari PP. Raudlatut Thalibin Leteh Rembang dan KH. Bahauddin Nursalim (Gus).
Di berbagai pesantren para kyai juga menggelar pengajian kitab secara virtual, karena para santrinya sedang berada di rumah, karena pandemi covid-19. Lembaga tradisional Islam ini yang kini jumlahnya mencapai 29.000 dengan 4 juta santri menjadi corong penting mempertahankan tradisi keilmuan Islam rahmatan lil ‘alamin.
Kyai-kyai muda yang tergabung dalam Majlis Dzikir dan Sholawat Rijalul Ansor (MDSR) lembaga di bawah Gerakan Pemuda Ansor juga turut ambil bagian. Dikomandani oleh KH. Mahfudz Hamid (Gus Mahfudz) Maron Purworejo mengorganisir kyai-kyai muda dari berbagai pesantren se-Indonesia menggelar pengajian kitab kuning secara daring. Beberapa kyai muda yang tampil, KH. Abdul Ghofur Maemoen (Gus Ghofur) Sarang, KH. Luthfi Thomafi (Gus Luthfi) Lasem, KH. Najib Bukhori (Gus Najib) Tuban, KH. Nadzib Abdul Mujib (Gus Nadzif) Pati, KH. Habib Abu Bakar Cirebon, Gus Faris Cirebon, KH. Aunulloh ala Habib (Gus Aun) Boyolali, KH. Khoirul Anwar Depok, KH. Alex, KH. Izzudin Magelang dan lain-lain.
Kyai-kyai muda Ansor ini telah lama eksis mengawal kajian-kajian keagamaan dikalangan umat. Mereka berasal dari putra-putra kyai, alumni perguruan tinggi di Timur Tengah, dan alumni pesantren di nusantara. Kehadirannya telah memberi warna tersendiri bagi organisasi pemuda yang dipimpin oleh Yaqut Cholil Qaumas (Gus Yaqut).
Sementara para intelektual pesantren yang berprofesi menjadi dosen di berbagai Perguruan Tinggi Keagamaan Islam (PTKI), juga tak mau kalah. Dari mulai dosen senior hingga yang masih muda. Menggelar pengajian kitab kuning dengan online dari rumah. Sungguh menjadi tradisi yang menarik dan membanggakan untuk masa depan keilmuan dan kajian-kajia Islam di Indonesia.
Mutiara Terpendam
Fenomena ini saya sebut sebagai munculnya mutiara terpendam yang dimiliki Indonesia. Publik yang biasanya pada masa ramadlon diberikan asupan pengajian-pengajian yang tidak berbasis kitab kuning, kini umat menjadi naik kelas. Mutiara-mutiara itu telah timbul dan bangkit mengisi ruang-ruang kosong yang di rindukan.
Di kampus yang agak jauh dari kota Bandar Lampung, tepatnya di IAIN Metro misalnya, muncul kyai muda yang juga dosen Muhammad Nasrudin, juga ngaji kitab kuning yang bisa diikuti tidak saja oleh mahasiswanya tapi juga masyarakat umum.
Bahkan saya mendengan Prof. Dr. Agus Zainal Arifin Guru Besar Teknologi Informatika dan Mantan Dekan di ITS Surabaya menggelar pengajian kitab Risalatul Mu’awanah yang pada hari-hari biasa digelar di Masjid Manarul Ilmi di sektar kampus, pada saat pandemi covid-19 ini digelar secara virtual. Unik bukan Guru Besar dari ilmu-ilmu sains mengajar kitab-kitab pesantren?
Di UIN Walisongo yang berlokasi di Jrakah dan Ngaliyah Kota Semarang muncul kyai profesor muda KH. Syamsul Ma’arif juga mbalah kitab kuning. Juga para dosen alumni pesantren yang lain seperti KH. Arja Imroni, KH. Imam Yahya, KH. Muhammad Anas, KH. Anasom, KH. Ahmad Izzudin, KH. Ali Imron Al-Hafidz, Kyai Rikza Chamami dan lain-lain yang tidak bisa saya sembut satu per satu.
Sementara itu KH. Ahmad Ismail Outhman Dosen FTIK UIN Walisongo juga mengasuh Majlis Labiba, menggelar pengajian kitab kuning dan membimbing khat dan kaligrafi melalui online. Menjadi tempat bertanya dan berdiskusi para aktivis muda di Semarang.
Ada lagi sosok dosen muda UIN Waisongo Muhammad Makmun alumni Program Beasiswa Santri Berprestasi (PBSB) Kemenag juga tak kalah fenomenal. Di Kudus tampil KH. Shobirin, KH. Kisbiyanto dan KH. Shohibul Itmam juga saya dengan Sholahuddin Muhsin di Jepara.
Pandemi covid-19 telah menghadirkan wajah-wajah baru yang mengkaji kitab kuning dipadukan dengan perkembangan teknologi informasi. Semoga ini menjadi kebangkitan tardisi keilmuan pesantren yang mendapat tantangan berat di era modern seperti sekarang ini.
Mutiara Islam Moderat
Tampillnya tokoh-tokoh pesantren yang selama ini memang sudah eksis di dunia nyata dan kini merambah dunia maya, ditambah lagi dengan mutiara-mutiara baru yang cerdas dan kreatif ini, tidak saja memberikan harapan baru tetapi semakin mempertegas posisioning kajian-kajian keagamaan ala pesantren yang moderat.
Kyai, ustadz dan santri-santri pesantren selama ini menjadi garda depan dalam menyebarkan ajaran dan nilai-nilai Islam yang terbuka, damai dan toleran. Melalui kajian-kajian pesantren mampu berdialektika dengan budaya dengan baik. Islam tampil dengan wajahnya yang teduh dan mengayomi bukan garang dan memusuhi.
Kitab kuning menjadi basis pengetahuan Islam yang fleksibel sekaligus terbuka. Para kyai terbiasa dengan tradisi mempelajari agama secara detail dari huruf, kata dan kalimat melalui kitab. Penjelasan-penjelasan muncul dengan gagasan dan paradigma yang terbuka dan asyik tidak melulu bicara soal halal dan haram juga muslim dan kafir.
Kajian-kajian Islam yang selama ini terkesan mengedepankan entertaimen dengan durasi waktu yang terbatas, kadang menjadi bias. Kini komunitas pesantren menambalnya dengan kajian-kajian yang spesifik dan mendalam yang dibutuhkan oleh umat. Belum lagi sajiannya yang santai dibumbui dengan guyonan yang kental, menambah wajah Islam semakin tejuk dan menarik.
Mutiara-mutiara yang selama ini terpendam menjadi kekuatan bagi berkembangnya moderatisme Islam. Kita tahu angka-angka radikalisme dan intoleransi dari berbagai lembaga survey cukup memprihatinkan. Di kalangan mahasiswa yang terpapar radikal dan intoleran mencapai 39% dan dikalangan TNI/Polri 3% setidanya menurut Alvara Riset.
Namun di sisi lain, para kyai muda tersebut harus melakukan penyesuaian-penyesuaian terhadap sasaran netizen yang mulai kenal dan tertarik untuk mengkaji kitab kuning. Langgam kitab kuning yang kental dengan bahasa jawa harus mampu ditransformasikan ke dalam bahasa Indonesia. Tentu juga intrepretasi-interpretasi konten agar mudah, jelas dan manfaat.
Kelompok millenial hakikatnya ingin mengetahui hal-hal baru. Kajian kitab kuning yang disuguhkan melalui daring bagi mereka juga merupakan hal baru. Ini kesempatan mengenalkan dunia pesantren dengan misi Islam yang rahmatan lil alamin sebagaimana pesan-pesan walisongo penyebar Islam di nusantara.
Kita banyak berharap tradisi baru ini, selain menampilkan wajah-wajah baru juga akan semakin memperkokoh tokoh-tokoh pesantren yang sudah eksis. Bentuk perlawanan terhadap kelompok intoleran dan radikal ala pesantren inilah yang dirasa efektif. Jangan biarkan kelompok-kelompok itu yang mendominasi panggung-panggung kajian keagamaan yang menyeret pada model pemahaman yang rigid dan intoleran. Wallahu a’lam bi al-shawab.
*Kasubdit Sarana Prasarana dan Kemahasiswaan Ditjen Pendidikan Islam Kementerian Agama RI dan Ketua Pimpinan Pusat Gerakan Pemuda Ansor