MONITOR, Jakarta – Anggota Komisi XI DPR RI, Puteri Anetta Komarudin meminta pemerintah untuk terus menjaga penguatan kurs rupiah hingga bergerak ke arah fundamentalnya.
Hal itu terkait dengan kondisi nilai tukar rupiah pada perdagangan pekan ini ditutup menguat 2,7 persen menjadi Rp14.882 per dollar Amerika Serikat (AS), dari sebelumnya Rp15.295 per dollar AS.
“Sebelumnya, kurs rupiah mengalami tekanan seiring merebaknya pandemi Covid-19 yang memicu kepanikan investor, sehingga mendorong capital outflows dan pengetatan dollar AS di pasar global,” kata Puteri dalam keterangan tertulisnya, di Jakarta, Sabtu (2/5).
“Selama ini pergerakan nilai rupiah cenderung undervalue. Namun, saat ini kurs rupiah terus menguat ke arah fundamental value yang disebabkan perbedaan yield yang cukup tinggi, baik dalam maupun luar negeri, sehingga memicu inflows,” tambahnya.
Politisi muda Partai Golkar ini juga menilai penguatan kurs rupiah tidak terlepas dari peran Pemerintah maupun otoritas terkait seperti Bank Indonesia, OJK, dan LPS dalam merumuskan operasi moneter dan fiskal. Selama periode Januari sampai April, Bank Indonesia telah melakukan kebijakan quantitative easing (QE) atau pelonggaran makroprudensial dengan injeksi likuiditas perbankan sebesar Rp386 triliun.
Selain itu, imbuhnya, Bank Indonesia juga akan kembali melakukan quantitative easing sebesar Rp117,8 triliun pada awal bulan ini.
Sementara itu, yang perlu diperhatikan, sambung dia, terkait kebijakan quantitative easing berbeda dengan mencetak uang.
Quantitative easing merupakan kaidah kebijakan moneter yang dilakukan apabila kondisi likuiditas perbankan berkurang, sehingga diperlukan penambahan likuiditas.
“Penambahan dilakukan melalui penurunan Giro Wajib Minimum (GWM), term repo perbankan, serta pembelian SBN di pasar sekunder,” paparnya.
Sementara, istilah mencetak uang adalah ketika bank sentral menambah uang yang beredar namun tidak dapat diserap. Misalnya, ketika bank sentral mengedarkan uang dengan membeli surat utang pemerintah yang tidak tradable dan suku bunganya mendekati 0 persen, sehingga dapat menimbulkan inflasi yang signifikan.
“Saya mengapresiasi intervensi Bank Indonesia melalui kebijakan quantitative easing dengan total mencapai Rp503,8 triliun untuk mengurangi ketatnya dolar di pasar, sehingga dapat membantu stabilisasi nilai tukar rupiah.”
Namun, operasi moneter ini juga harus didukung dengan kebijakan fiskal oleh pemerintah, maupun kebijakan sektor keuangan dari OJK dan LPS,” tegasnya.
Untuk itu, kata Puteri, masing-masing entitas harus memiliki kesepahaman yang sama atas kebijakan pelonggaran tersebut.
“Supaya dapat terus memperkuat bauran kebijakan dalam rangka stabilisasi nilai tukar dan pemulihan ekonomi,” pungkasnya.