Oleh: Dr. Samsul Bahri, MA
Dosen pascasarjana IAIN Kendiri
Wacana tentang teologi kemanusian merupakan akatualisasi dari teologi ketuhanan, hanya saja tradisi hari ini terlalu terpesona dengan teologi ketuhanan yang menghambakan diri kepada sang Maha pencipta, dengan berbagai kegiatan ibadah, sehingga ketika bencana menerpa bangsa ini kita tidak mempunyai solidaritas yang tinggi untuk membantu meringankan beban saudara-saudara kita yang ditinpa bencana Covid 19.
Hal ini disebabkan pemahaman akan teologi ketuhanan yang hanya ibadah ritual untuk kepentingan diri sendiri. Oleh sebab itu ketuhanan harus juga diaktulisasikan dalam realitas empiris dalam kehidupan ini, dalam bahasa agama hubungan kepada Tuhan dan hubungan kepada manusia.
Belum hilang diingatan pada masyarakat bangsa Indonesia tentang bandai korupsi melandanya diberbagai dapartemen-dapartemen, yang mencoreng wajah bangsa ini kejurang kehancuran.
Kini Ibu pertiwi kembali menangis, ketika badai COVID-19 yang melulu lantakan dan memperak-porandakan Indonesia, nyawa melayang (belum selesai), yang positif corona dua ribuan lebih dan anak negeri ini tidak bisa belajar, rakyatnya menjerit, penderitaan yang sungguh di luar dugaan kita semua.
Penderitaan mereka merupakan duka yang mendalam bagi seluruh bangsa Indonesia. Oleh karena itu, mari memberi bantuan kepada saudara-saudara kita sebagai bukti solidaritas kemanusiaan. Agama tidak menjadikan penghalang untuk menhilangkan tragedi kemanusiaan.
Teologi Untuk Kemanusiaan
Agama hadir di muka bumi ini untuk membantu dan mengembangkan kepribadian seseorang dan masyarakat, bukan untuk melakukan hegemoni dan memenjarakan martabat dan potensi kemanusiaan.
Dengan kata lain, agama hadir untuk memperjuangkan martabat manusia, dan bukan martabat manusia yang dikorbankan untuk institusi keagamaan.
Atau meminjam istilah kaum Marxian bahwa jangan-jangan agama sudah bergeser dan tenggelam pada pertekaran soal simbol agama dan kepentingan kelompoknya, sementara yang menjadi pangkal kesengsaraan masyarakat adalah kemiskinan dan kepekaan sosial yang nyaris terabaikan dan terlupakan.
Saat ini pemeluk agama telah uji kepekaan sosialnya, apakah agama yang perankan untuk kepentingan kemanusiaan (kesalehan sosial) ataukah agama yang diperankan hanya menjalankan ibadah ritual untuk kepentingan diri sendiri tanpa mau pusin dengan penderitaan dan tangisan masyarakat yang di tinpa bencana (kesalehan individu).
Sesungguhnya kedua-duanya bisa diperankan baik peran Ilahiah maupun dimensi kemanusiaan. Dengan kata lain agama tidak hanya mengandung satu wajah, tapi banyak wajah. Agama tidak hanya berkutat dan sibuk diri mengurusi hubungan transenden manusia dengan penciptaanya lewat prilaku ritual dan ibadah formal.
Namun, agama harus membumi untuk menegakkan misi kemanusiaan sebagai wadah implementasi dan pedoman moral hubungan antar manusia.
Artinya bagaimana wahyu Allah yang transenden itu dihayati dan dipraktekkan dalam kehidupan manusia di muka bumi ini.
Agama semestinya tidak hanya menjadi persoalan langit yang mengurusi hal yang metafisik.
Agama juga harus diperjuangkan dan membumikan ajaranya untuk kepentingan tragedi kemanusiaan, sehingga misi unversalisme dapat ditegakkan.
Hanya saja terkadang agama yang dianut selalu lahir tafsiran-tafsiran salah yang menganggap dirinya yang paling benar, sehingga penderitaan dan tangisan di luar dari kelompoknya itu tak memberikan sinaran cahaya untuk membantunya.
Model tafsiran seperti ini menurut M. Amin Abdullah adalah karena tidak seimbangnya dimensi normatif (ajaran) dan historis (kesejarahan) agama, sehingga yang bersifat profan dicampuradukkan dengan dimensi sakral, yang pada gilirannya melahirkan pemeluk-pemeluk agama yang bersifat ekslusifisme (fanatik dan arogan).
Jika demikian yang patut ditumbuhkan adalah teologi kemanusiaan yang memuat nilai-nilai toleransi dan pengakuan kebersamaan, karena substansi agama tidak berarti bahwa semua agama dipandang sama.
Sikap toleran dan pengakuan tersebut hanyalah suatu upaya pencarian kalimatun sawa (titik temu) semua ajaran agama. Hal diakui Gregory Bahum dalam bukunya Agama dalam Bayang-Bayang Relativisme, bahwa kebenaran agama sesungguhnya bisa dilihat dari komitmen emansipasi dan solidaritas kemanusiaan.
Komitmen emansipatoris dapat diwujudkan dengan mampu membebaskan belenggu-belenggu zamanya, ketertindasan, kebodohan dan lain.
Sedangkan wujud solidaritasnya, agama harus mampu mengeluarkan manusia dari lingkaran ideologi-ideologi yang sempit. Kondisi inilah akan melahirkan pemeluk-pemeluk agama yang inklusif, dan mampu membawah peradaban umat manusia menuju peradaban yang dinamis dan progresif.
Pemeluk agama demikian, yang oleh seorang Karen Amstrong memberikan pesan dalam bukunya Berperan Demi Tuhan, mengatakan peran suci diakui semua agama.
Namun demikian, disalah tafsirkan dengan alasan membelah agama, manusia saling bermusuhan dan membunuh, bahkan saling memusnahkan, hal ini sangat bertentangan dengan misi hakiki agama.
Dengan demikian, Karen Amstrong memberikan penjelasan bahwa misi agama adalah misi kemanusiaan dan misi Ilahiah. Artinya agama sudah selayaknya sebagai etika kehidupan akhirat dan sosial yang menaungi segenap misi kemanusiaan.
Bila agama tidak mampu mewujudkan hal itu, maka ia akan ditinggalkan oleh pemeluknya. Oleh karenanya pemeluk agama haruslah berperan mewujudkan misi Ilahiah dan misi kemanusiaan. Mari membangun dan menyadarkan pemeluk agama bahwa pentingnya teologi kemanusian, untuk saling menghargai, membantu, kerjasama menjadi tugas semua pemeluk agama dan pemerintah.
Atau istilah Juergen Hebermas agama sudah waktunya berpihak pada kemanusiaan dan menumpas ketidakadilan, sehingga agama sebagai pesona kedamaian untuk kemanusiaan.
COVID -19 Tragedi dan Solidaritas Kemanusiaan
Tragedi covid-19 yang terjadi adalah tragedi nasional yang banyak memberikan pelajaran dan renungan bagi bangsa dan negara pertiwi ini. Betapa tidak, harta, nyawa dokter dan warga yang tekena wabah corona telah melayang membuat kita menderita dan menangis.
Tragedi ini telah menguji solidaritas kemanusiaan kita sebagai pemeluk agama, apakah kita merasakan penderitaan, tangisan dan jeritan anak-anak negeri ini.
Kalau merasakan, mari menolong dan mambatu meringankan penderitaan mereka sebagai bentuk kesalehan sosial. Sebagai umat Islam merupakan suatu kewajiban untuk membantu mereka yang ditimpa kemalangan, karena ciri utama kehidupan manusia menurut Islam adalah hidup bermasyarakat; yakni hidup yang diselenggarakan secara bersama.
Karenanya pada saat ribuan saudara-saudara kita di Aceh dan Sumatera menderita, maka sudah saatnya merenungkan bahwa harta itu adalah titipan sang Ilahi kepada manusia.
Oleh sebab itu, sudah saatnya menggalang lagi solidaritas dan kesetiakawanan untuk membantu saudara-saudara yang dilanda bencana. Badai pasti berlalu, bangkitlah dan tersenyumlah negeriku ungkapan untuk mengembalikan mental masyarakat Indonesia yang dilanda musibah bahkan untuk kembali merekonstruksi kehidupan mereka.
Hanya saja sebarapa jauh ungkapan-ungkapan teologi ketuhanan melalui tragedi ini bisa kita maknai dan mengambil hikmahnya dari tragedi nasional ini. Karena itu, ada beberapa hal untuk renungkan bersama sebagai bangsa Indonesia.
Pertama, ungkapan Tuhan melalui tragedi ini merupakan ujian bagi seluruh masyarakat Indonesia untuk tidak sombong akan harta serta pangkat yang milikinya.
Kedua, Tuhan ingin mengunkapkan sebuah teguran kepada para pemimpin, intelektual, dan bahkan masyarakat bangsa ini agar senantiasa berjuang dan membantu masyarakat yang lemah, miskin serta tidak menipiskan teologi solidaritas kemanusiaan.
Ketiga, mungkin Tuhan sudah bosan melihat konflik antar agama, etnis, di negeri, perilaku para politisi dan masyarakat dinegeri ini sehingga melalui tragedi ini menyadarkan betapa perlunya persatuan di bumi pertiwi ini, tidak ada lagi eksklusifisme beragama, yang ada harmonisasi keberagamaan, untuk saling menghargai, menolong dari kesusahan, nilai-nilai inilah yang harus diperlihatkan oleh kaum beragama yakni mencerminkan nilai-nilai ketuhanan. Semoga tragedi kemanusiaa ini membawah hikmah dan pelajaran kepada rakyat, dan para pemimpin bangsa ini bahkan bagi semua bangsa Indonesia.
Uluran tangan masih sangat dibutuhkan, untuk menghilangkan tangisan dan penderitaan korban COVID-19,Semoga masyarakat tetap melakukan hal-hal yang sesuai anjuran pemerintah social distancing, mencuci tangan, menggunakan masker dan sebagian slogan “di rumah saja” semoga badai bencana corona dapat cepat berlalu dan bangkit dari derita dan tangisan ini.
MONITOR, Jakarta - Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mencatat jumlah produksi hasil perikanan hingga Oktober…
MONITOR, Jabar - Komisi IV DPR RI menyatakan dukungan penuh terhadap penyusunan Peraturan Presiden (Perpres)…
MONITOR, Jakarta - Dalam peringatan Hari Anak Nasional Sedunia yang diperingati setiap 20 November, kenyataan…
MONITOR, Jakarta - Wakil Ketua Komisi XIII Andreas Hugo Pareira mempertanyakan dasar hukum kebijakan yang…
MONITOR, RIYADH - King Faisal Specialist Hospital & Research Centre (KFSHRC) telah meluncurkan Layanan Patologi…
MONITOR, Jakarta - Menteri Agama (Menag) Nasaruddin Umar mengungkapkan bahwa Kementerian Agama (Kemenag) mengerahkan 5.940…