Anggota Komisi I DPR RI TB Hasanuddin (dok: istimewa)
MONITOR, Jakarta – Anggota Komisi I DPR RI TB Hasanuddin mempertanyakan kebijakan yang diambil Presiden Jokowi dalam penanganan Corona di Indonesia. Seperti diketahui, Presiden melalui rapat terbatas pada Senin (30/3) mulai memberlakukan kebijakan pembatasan sosial skala besar dan pendisiplinan penerapan penjarakan fisik demi mencegah penularan Covid-19 di Indonesia.
Jokowi juga menetapkan status darurat sipil sebagai landasan pemberlakuan dua kebijakan tersebut.
“Status darurat sipil atau militer merujuk pada Perppu No 23 Tahun 1959 tentang Pencabutan UU No. 74/1957 (Lembaran Negara No 160/1957) dan Penetapan Keadaan Bahaya,” kata Hasanuddin dalam keterangan tertulisnya, di Jakarta, Selasa (31/3).
Menurut dia, Perppu 23 Tahun 1959 tidak mengatur kondisi bencana pandemik/wabah penyakit. Perppu 23 itu mengacu pada hal-hal yang berkaitan dengan perang, bencana perang, pemberontakan, kerusuhan dan bencana alam.
Tidak hanya itu, it juga mengungkapkan Perppu a quo memiliki semangat militeristik dan tersentral kepada Pemerintah Pusat sebagai Penguasa Darurat Sipil / militer.
Selain itu, Hasanuddin juga menegaskan, dalam hal ini Pasal 1 ayat (1)c tentang keadaan khusus dan keadaan bahaya negara tidak memiliki penjelasan yang cukup jelas/multitafsir.
“Perlu kebutuhan untuk menyusun parameter ketat dalam mengklasifikasi ‘keadaan khusus’ atau keadaan yang berbahaya bagi negara,” ungkap politikus PDI Perjuangan itu.
Hasanuddin menilai, bila dilihat roh dari Perppu itu murni semacam pemulihan keamanan usai pemberontakan, kerusuhan atau akibat bencana alam yang dikhawatirkan dapat membahayakan hidup Negara, bukan untuk wabah atau pandemi.
Ia juga mengkhawatirkan bila diberlakukan darurat sipil, maka aktivitas warga akan terbelenggu. Karena, dalam Perppu disebutkan penguasa darurat sipil berhak membatasi pertunjukan, percetakan, penerbitan serta perdagangan serta berhak mengetahui percakapan telepon dan melarang pemakaian alat-alat telekomunikasi.
“Penguasa darurat sipil membatasi orang di luar rumah dan berhak melarang semua kegiatan publik dengan dalih negara sedang darurat. Ini cukup mengkhawatirkan, ini beda sekali dengan karantina dalam mengatasi pandemi,” ujarnya.
Oleh karena itu, Hasanuddin menyarankan agar pemerintah memberlakukan UU No 6 Tahun 2018 secara sungguh-sungguh dan melengkapi peraturan pendukungnya seperti Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri dan lainya, ditambah UU No 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit atau membuat Perppu tentang penanggulangan bahaya corona.
“Jangan tergesa- gesa bicara kerusuhan atau darurat, karena Perppu ini tak relevan diberlakukan untuk mengatasi epidemi corona,” pungkasnya.
MONITOR, Jakarta - Anggota Badan Kerja Sama Antar Parlemen (BKSAP) DPR RI, Verrell Bramasta dan…
MONITOR, Jakarta - Ketua DPR RI Puan Maharani telah resmi menjadi Presiden Parliamentary Union of…
MONITOR, Jakarta - Ketua DPR RI Puan Maharani menerima penyerahan keketuaan Parliamentary Union of the…
MONITOR, Jakarta - PT Jasa Marga (Persero) Tbk. mencatat sebanyak 363.799 kendaraan kembali ke wilayah…
MONITOR, Kalsel - Menteri Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) Maman Abdurrahman menegaskan bertanggung jawab…
MONITOR, Jakarta - Bagi pemilik kendaraan bermotor di Indonesia, penting untuk mengetahui bahwa pemerintah sedang…