Sabtu, 20 April, 2024

Masyarakat Diajak Tengok Sisi Positif Hubungan Indonesia-Tiongkok

MONITOR, Jakarta – Kelas Inklusif bersama Ikatan Pemuda Tionghoa Indonesia (IPTI) DKI Jakarta menggelar diskusi publik dengan tema Sejarah Hubungan Diplomasi Indonesia dan Tiongkok – Sze Tu Mei Sen Sang Pelopor di Conclave, Cilandak, Jakarta, Sabtu (22/2).

Diskusi tersebut menghadirkan berbagai narasumber guna membahas persoalan hubungan Indonesia-Tiongkok di tengah gemuruh pemberitaan dan stigma negatif tentang Tiongkok.

Wakil Ketua Umum Paguyuban Sosial Marga Tionghoa Indonesia, Richard Tan yang hadir sebagai pembicara menuturkan, Tiongkok merupakan negara yang erat hubungannya dengan Indonesia bahkan sejak ratusan tahun yang lalu: mulai dari urusan dagang sampai urusan politik.

Menurutnya, hubungan erat tersebut yang menyebabkan banyaknya populasi warga Tionghoa di Indonesia. Tercatat, Indonesia memiliki komunitas tionghoa terbesar di dunia.

“Hubungan horizontal pada tubuh masyarakat yang tumbuh harmonis harap jangan dirusak. Kita telah berhubungan baik dalam berbagai hal, jadi mohon kita untuk bersama-sama saling menjaga. Bahkan dalam sektor budaya. Budaya boleh disandingkan, asal jangan dibanding-bandingkan,” ujar Richard Tan.

Dalam kesempatan tersebut, Ketua DPW IPTI DKI Jakarta, Glenn Wijaya yang juga hadir sebagai pemateri mengajak para peserta melihat lebih jauh hubungan Indonesia-Tiongkok, khususnya di sektor investasi yang kini tengah hangat dibicarakan publik.

“Mau bagaimanapun, kita butuh investasi. Kita butuh modal untuk melakukan percepatan pembangunan. Investasi menciptakan lapangan pekerjaan untuk rakyat Indonesia. Walaupun tetap harus ada yang digarisbawahi dari investasi, yaitu kedaulatan rakyat yang kuat. Tapi jangan khawatir, percayakan semuanya pada aparat penegak hukum. Jangan sampai kita termakan hoax.” ujarnya.

Menutup sesi materi, Founder Kelas Inklusif, Muhammad Rafsanjani menjelaskan, persoalan investasi yang diasumsikan sebagai hutang di Indonesia tak lain karena budaya masyarakat yang menganggap hutang sebagai sesuatu yang hina, padahal dari investasi tersebut dapat memecahkan berbagai persoalan, mulai dari persoalan ekonomi hingga lapangan kerja.

“Kenapa Investasi di salahkan? Karena budaya masyarakat Indonesia menyebutkan bahwa hutang adalah hal yang hina. Namun, hutang yang dimaksud masyarkat tidak berlaku pada rumus bisnis dan ekonomi sebuah negara. Hutang dibutuhkan untuk mendorong percepatan pertumbuhan ekonomi. Dengan adanya investasi, akan terciptanya lapangan pekerjaan. Tersedianya lapangan pekerjaan berdampak pada banyaknya masyarakat yang dapat bekerja,” terang Rafsan.

Padahal, kata dia, banyaknya masyarakat yang bekerja membuat daya beli masyarakat naik sehingga income per-kapita negara juga ikut naik. Pada titik ini investasi membantu mobilitas verikal di Indonesia.

“Jangan melulu memandang negatif. Bahwa konflik yang terjadi di Uighur dan Laut Natuna merupakan persoalan lain yang tidak bisa disamaratakan. Venezuela dan Ekuador menjadi bukti kegagalan sebuah negara akibat menolak investasi yang menyebabkan kedua negara tersebut terseok-seok. Maka dari itu, investasi asing jangan lagi dianggap sebagai sesuatu yang negatif.” pungkas Rafsan.

- Advertisement -

BERITA TERKAIT

TERPOPULER