Oleh: Ali Muhtarom*
Polemik terkait statemen kepala BPIP Prof. K.H. Yudian Wahyudi, Ph.D mengenai agama sebagai ‘musuh’ Pancasila dengan judul “Kepala BPIP Sebut Agama Jadi Musuh Pancaasila yang viral di media sosial sejak dimunculkan oleh salah satu media online ternama di Indonesia pada hari Rabu tanggal 12 Februari 2020 kemarin memiliki dampak yang luas di masyarakaat.
Pada satu sisi, viralnya pemberitaan tersebut berdampak pada ketenaran Kepala BPIP karena menjadi tranding topik di hampir semua medsos, bahkan sejak berita tersebut viral, isu-isu paling hangat terkait pemberitaaan pemulangan eks-WNI yang sempat bergabung menjadi kombatan ISIS dari Timur Tengah, terutama Suriah, isu-isu tentang radikalisme, khilafah, dan beberapa isu lain yang sebelumnya sudah menghiasai jagat medsos nyaris tertutupi oleh potongan pemberitaan dari Kepala BPIP tersebut.
Akan tetapi, pada saat yang sama, perlu direnungkan kembali bahwa pemberitaan tersebut memiliki dampak yang negatif bagi kalangan masyarakat, terutama mereka yang tidak melihat konten pernyataan Kepala BPIP tersebut secara utuh dan komprehensif.
Sebuah pemberitaan di media, khususnya online yang memiliki kekuatan tersebar paling cepat seharusnya memperhatikan dampak dan psikologi masyarakat. Hal ini saya kira penting karena media memiliki peran yang sangat penting di dalam memberikan pencerahan kepada masyarakat. Ketika suguhan berita yang muncul hanya mementingkan kuantitas seperti ingin mendapatkan rating tertinggi, tidak memperhatikan kualitas dan makna dari substansi yang diberitakan, saya meyakini bahwa berita tersebut kehilangan substansinya.
Untuk itu, seharusnya media harus lebih komprehensif dalam menaikkan kualitas pemberitaanya supaya tidak memunculkan kegaduhan di masyarakat. Selama ini, sebagaimana kasus Kepala BPIP, yang mendapat stigma hampir dipastikan adalah narasumber ketika penyajian beritanya tidak utuh. Ruang pemberitaan, terutama di media online seakan menjadi ajang kontestasi berebut otoritas dari kepentingan bisnis, politik, dan bahkan ideologi.
Fakta-fakta yang sebenarnya bersaing dengan hoax atau kebohongan sengaja atau tidak sengaja untuk digulirkan kepada publik. Maraknya berita hoax dalam perebutan otoritas, terutama dalam bidang ideologi keagamaan semakin menguat. Di sinilah letak pentingnya pemberitaan yang berkualitas penting dibahas.
Paradigma bad news is good news saya kira perlu dilihat lebih mendalam, terutama dalam konten yang berhubungan dengan isu-isu sensitif seperti isu keagamaan. Ketika isu yang berhubungan dengan keagamaan tidak didasarkan pada substansi dan keluar dari maksud narasumber, tentu saja kualitas pemberitaan tersebut akan menjauh dari konteks yang dimaksud oleh sumber aslinya. Pada saat yang sama, yang terjadi adalah sebaliknya, narasumber akan diserang oleh kelompok atau individu yang hanya membaca teks yang ditulis media.
Tidak bisa dipungkiri bahwa fenomena era digital saat ini, merujuk pada pernyataan Marshall McLuhan bahwa media menjadi sumber utama informasi, bukan yang dimaksudkan oleh sumber asli yang diperoleh media. Masyarakat di era digital saat ini lebih cenderung secara spontanitas mempercayai media tanpa melakukan refleksi dan bertabayun terlebih dahulu. McLuhan menjelaskan bahwa medialah yang saat ini menjadi sumber otoritas utama dari pesan kebenaran untuk masyarakat, the mediom is the message.
Untuk itu, ketika pemberitaan hanya mementingkan unsur kuantitas rating tanpa mempertimbangkan kualitas tentu saja akan berakibat pada ketidak seimbangan makna yang menjadi poin penting dari yang hendak disampaikan oleh narasumber. Seorang narasumber akan menjadi korban dari media karena berita yang tidak berimbang akan berbalik menjadi fitnah yang mengerikan bagi dirinya sendiri.
Konskuensinya, pemberitaan yang tidak berimbang, selain akan berakibat pada pembentukan opini yang keliru di masyarakat, juga akan mengendorkan samangat untuk menyampaikan hal yang substansi karena masyarakat atau individu tertentu akan merasa khawatir dalam menyampaikan kebenaran ketika konteks yang sebenarnya dipotong demi rating sebuah pemberitaan.
Pada titik inilah sebenarnya saya melihat adanya ketidakadilan pemberitaan ketika berita tidak komprehensif dikonsumsi oleh masyarakat. Teknologi, Kreativitas, dan yang utama adalah Integritas yang menjadi tageline hari pers nasional (HPN) pada tanggal 9 Februari 2020 kemarin serasa menghilang jika kondisi pemberitaan di media masih seperti ini.
Kembali pada satatemen kepala BPIP, sebagaimana disinggung di atas, tentu saja saya memaknainya sebagai pemberitaan yang menjauh dari substansi. Mengapa menjauh dari substansi karena narasi yang dimunculkan tidak utuh, atau hanya diambil potongan yang justru sengaja dipilih bagian yang sensitif. Secara utuh narasi yang disampaikan oleh Kepala BPIP adalah meneguhkan identitas kebangsaan melalui penguatan dan pemaknaan Pancasila sebagai dasar negara.
Di tengah arus globalisasi yang ditandai oleh menguatnya tehnologi, generasi muda, terutama generasi millenial perlu dipupuk dalam pemahaman dasar negara yang saat ini mulai digerus oleh munculnya pemahaman keagamaan baru dari sebagian kelompok yang ingin mereduksi Pancasila karena terpengaruh oleh ideologi keagamaan tertentu. Kecenderungan ideologi dari beberapa kelompok yang ingin mereduksi Pancasila sebagai dasar negara perlu diwaspadai karena bangsa Indonesia belum sepenuhnya imun dari pengaruh kemunculan pemahaman keagamaan yang kontra terhadap Pancasila.
Kewaspadaan ini perlu dibangun secara lebih intensif supaya tidak menularkan virus keengganan bagi masyarakat, terutama generasi millenial terhadap penerimaan Pancasila sebagai dasar negara.
Dalam pernyataan yang lebih komprehensif, Kepala BPIP menjelaskan tentang betapa pentingnya untuk memahami hubungan antara agama dan Pancasila sebagai satu tarikan nafas yang berjalan seiringan. Pada dasarnya ketika dipahami secara lebih mendalam dan utuh, apa yang disampaikan oleh Kepala BPIP bisa kita pahami secara lebih jernih bahwa tidak ada dualisme pemahaman antara agama dan Pancasila. Untuk itu, tidak ada upaya untuk memunculkan narasi agama menjadi musuh Pancasila, atau sebaliknya Pancasila menjadi musuh agama.
Akan tetapi, bola yang sudah dilempar oleh media yang terlanjur menulis judul beritanya yang menjauh dari substansi tersebut sudah mengalir begitu deras. Meskipun sudah diluruskan, namun dampak yang muncul di masyarakat tetap saja terasa panas. Tidak mudah untuk mengembalikan terciptanya suasana yang stabil seperti semula, yang mana seandainya tidak ditulis judul pemberitaannya sebagaimana yang sudah viral tidak seperti kondisi saat ini.
Pada saat yang lain, saya melihat bahwa respon tersebut muncul dari motif yang beragam dan rumit. Bagi kelompok yang memahami secara utuh pernyataan kepala BPIP tersebut akan mengapresiasi karena statemen yang disampaikan berisi narasi yang mencerdaskan. Namun, bagi kelompok atau individu yang tidak mau membaca secara utuh, apalagi ada motif tertentu seperti politik dan lainnya tentu akan terus menggorengnya.
Secara pribadi, saya justru tertarik untuk menunggu kelompok atau individu lain yang berani dan tidak takut untuk dibully dalam mengungkapkan pernyataan yang substantif, terutama dalam kaitannya dengan jihad membumikan penguatan ideologi Pancasila untuk NKRI.
*Penulis Adalah Dosen UIN SMH Banten