Oleh: Yakin Simatupang
Pada awal 2020, Kementerian Keuangan menyatakan defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2019 sementara tembus Rp353 triliun sepanjang 2019. Defisit tersebut mencapai 2,2 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB).
Realisasi defisit tersebut meningkat dari posisi 2018 yang hanya sebesar Rp269,4 triliun atau 1,82 persen dari PDB. Sementara, secara persentase terhadap PDB, defisit Desember bisa dibilang tak jauh berbeda jika dibandingkan November 2019 yang sebesar 2,29 persen.
Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan peningkatan defisit terjadi karena realisasi penerimaan negara masih jauh di bawah belanja negara. Sebagai informasi, penerimaan negara baru mencapai Rp1.957 triliun atau hanya 90,4 persen dari target di APBN 2019 yang sebesar Rp2.165,1 triliun.
Di sisi lain, belanja negara tercatat sebesar Rp2.310,2 triliun atau 93,9 persen dari target APBN 2019 yang sebesar Rp2.461,1 triliun. Dengan realisasi tersebut, belanja negara meningkat 4,4 persen, sedangkan penerimaan negara hanya naik 0,7 persen. (Sumber; CNN Indonesia)
Angka di atas sangat riskan, sebab semakin menguatkan fakta bahwa pengelolaan negara sepanjang 2019 lebih besar pasak dari pada tiangnya. Sementara di sisi lain, dalam konteks politik kebijakan, ada yang rentan pula pada keputusan pemerintah untuk membuka penerimaan ASN hingga 200 ribu orang lebih.
Tentu alasan paling logisnya adalah untuk menekan angka masyarakat yang tidak bekerja (pengangguran). Hanya saja angka penerimaan yang bombastis tersebut justru akan menyisakan banyak masalah di kemudian hari. Sebab, membuka secara besar besaran penerimaan ASN di tengah defisit APBN yang meningkat pada setiap tahun, pasti akan problematik.
Persoalan ini menyisakan banyak pertanyaan. Misalnya dalam situasi di mana Indonesia tengah menghadapi bonus demografi, yakni tatkala usia produktif meningkat naik, mengapa justru yang diperkuat dan dibuka lebar lebar adalah penerimaan ASN. Mengapa bukan sektor UMKM dan swasta misalnya? Atau jika pun harus dengan penerimaan ASN, kenapa tidak dengan menambah kuota penerimaan prajurit Polri dan TNI saja? Mengingat belakangan ancaman terhadap keamanan, pertahanan, dan kedaulatan kita tengah menjadi sorotan.
Misalnya adalah apa yang terjadi pada perairan Natuna di Laut Cina Selatan. Banyak kalangan berdebat tentang apakah itu kedaulatan (sovereignty), atau hanya hak berdaulat. Ada garis teritori 12 mil dari garis pantai, ada pula di angka 200 mil. Namun secara garis besar, hal ini tak akan terjadi jika armada laut kita kuat, dan pasukan penjaga perbatasan tersebar di setiap titik-titik krusial teritori kita.
Pencurian ikan terjadi di Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) karena boleh jadi pada wilayah tersebut sepi dari aktivitas nelayan kita dalam memaksimalkan potensi ekonomi di sana, dan sepi pula dari penjagaan dan pengawasan keamanan laut kita.
Maka benar jika sementara pakar berpendapat kita harus menambah armada laut, memperkuat militer, yang salah satunya adalah menambah penerimaan personil TNI khususnya Angkatan Laut. Retorika kita soal membangun kembali kejayaan maritim jangan sampai berhenti pada jargon bahwa kita tidak pernah memunggungi laut, sedangkan faktanya kita memang lemah di laut. Kita punya instansi negara bernama Bakamla, namun kapasitas dan kekuatannya masih harus diupgrade di segala sisi.
Demikian pula Angkatan Darat dan Angkatan Udara kita. Dalam biografi Omar Dani yang berjudul “Pergunakanlah Hati, Tangan dan Pikiranku: Pledoi Omar Dani (2001)” yang disusun Benedicta Surodjo dan JMB Soeparno, semua Angkatan diharapkan kuat.
“Kita musti mempunyai angkatan darat yang kuat, angkatan laut yang kuat, angkatan udara yang kuat. Ketiga-tiganya harus sekuat mungkin. Kita tidak bisa kuat tanpa Angkatan Udara yang sekuat-kuatnya,” kata Sukarno seperti dikutip dalam buku tersebut.
Alhasil, hingga hampir 75 tahun merdeka, kita masih punya PR terlalu banyak soal Keamanan dan Pertahanan kita. Oleh karena itu, dalam opini singkat ini, saya berpendapat bahwa penerimaan ASN secara besar besaran lebih baik diarahkan kepada penerimaan anggota TNI dan Polri.
Dalam teori Balance of Power, jika negara kita ingin disegani oleh negara lain dalam konteks militer, maka tidak ada pilihan lain yakni dengan memperkuat militer kita. Teori ini pula lah yang kerap dijadikan referensi oleh sementara pakar jika tengah berbicara tentang National Interest/Kepentingan Nasional. Sebab jika tidak, retorika kita soal Non Blok, Politik Bebas Aktif, dan Mendayung di Antara Dua Karang hanya akan dianggap sebagai sikap yang ngambang dan abu-abu dalam pergaulan internasional (International Society).
*) Penulis adalah Direktur Indonesia Mandiri Foundation