MONITOR, Jakarta – Masyarakat diminta untuk waspada terhadap modus penipuan dan tindak pidana lainnya dari berbagai orang yang mengatasnamakan dirinya pendiri kerajaan/keraton tertentu.
Dikatakan dia, pada pra kemerdekaan, Indonesia memang terdiri dari berbagai kerajaan, namun jelang Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, para raja-raja se-Nusantara telah mendeklarasikan dirinya melebur dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Demikian disampaikan Ketua MPR RI Bambang Soesatyo (Bamsoet) dalam keterangan tertulisnya, di Jakarta, Jumat (31/1).
“Setelah Indonesia merdeka, praktis tidak ada lagi pembentukan kerajaan/keraton baru, karena seluruh elemen masysrakat menyatu dalam NKRI,” kata Bamsoet.
“Keraton yang sudah ada sejak pra-kemerdekaan dan turut membantu perjuangan kemerdekaan Indonesia, seperti Kerajaan Pagaruyung di Sumatera Barat, Keraton Kasunanan Surakarta di Solo, maupun Keraton Kasepuhan Cirebon di Cirebon, dan masih banyak lainnya, kini menjadi tempat melestarikan adat dan budaya lokal, serta peninggalan bersejarah lainnya, tanpa ada kekuasaan politik,” paparnya.
Dari semua keraton, sambung Bamsoet, hanya Yogyakarta saja yang diberikan keistimewaan yang diberikan melalui aturan perundang-undangan.
“Hanya Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat saja, karena ada keistimewaan yang diberikan melalui undang-undang, rajanya punya kekuasaan politik dan pemerintahan menjadi Gubernur Yogyakarta,” sebut dia.
Mantan Ketua DPR 2015-2019 ini, menegaskan jika ada orang yang mendirikan keraton/kerajaan dan mendeklarasikan dirinya sebagai raja, apalagi dengan meminta sumbangan kepada masyarakat, patut diduga ia sedang menjalankan penipuan.
Menurut dia, alih-alih melestarikan adat dan budaya, orang seperti ini justru mencoreng nama baik keraton/kerajaan yang sejak dulu sudah berkiprah demi Indonesia.
Oleh karena itu, mantan ketua komisi III DPR ini mengapresiasi langkah cepat kepolisian yang telah mengamankan berbagai orang yang berdalih mendirikan keraton/kerajaan namun sebenarnya sedang melakulan penipuan publik. Seperti Sunda Empire dan Keraton Agung Sejagat.
“Jika polisi tak bergerak cepat, khawatir kedua keraton/kerajaan fiktif tersebut mendatangkan preseden buruk bagi masyarakat.”
“Lama-lama bisa muncul berbagai keraton/kerajaan dengan argumentasi pendirian yang sumir. Yang pada akhirnya, masyarakatlah yang menjadi korban. Baik sebagai korban penipuan finansial maupun penipuan sejarah,” pungkas Bamsoet.