Jumat, 29 Maret, 2024

Indikasi Mafia Migas Halangi Pembangunan Kilang

Oleh: Fahmy Radhi

Ketua DPP Partai Hanura, Inas N Zubir merasa perlu membuat keterangan pers pada Selasa 31 Desember 2019 untuk membantah pernyataan saya di media sebelumnya. Pernyataan saya yang dibantah menyatakan bahwa mafia migas di balik peningkatan impor minyak dan penghalangan pembangunan kilang minyak. Entah mewakili dirinya sendiri atau pihak lain, anggota DPR periode 2014-2019 bahkan mengatakan bahwa “pernyataan saya tersebut sangat sesat karena masyarakat akan berpendapat bahwa dengan dibangunnya kilang minyak maka Indonesia dipastikan akan berhenti impor minyak”.

Pernyataan Inas itu sesungguhnya mengatakan bahwa pernyataan Presiden Joko Widodo (Jokowi) sebelumnya juga sangat sesat. Pasalnya, dalam beberapa kesempatan, Jokowi tidak dapat menyembunyikan kejengkelannya atas kondisi Indonesia yang disebut hobi impor minyak dan ketidakmampuan dalam membangun kilang. Presiden Jokowi meyakini bahwa Mafia Migas di balik peningkatan impor dan kegagalan pembangunan kilang minyak. Presiden Jokowi mengatakan bahwa sudah mengetahui oknum Mafia Migas itu, yang akan “digigit” kalau tetap saja menggangu upaya Pemerintah untuk menurunkan impor minyak dan pembangunan kilang.

Pernyataan saya sebelumnya sebenarnya mengatakan bahwa pernyataan Jokowi tentang Mafia Migas di balik peningkatan impor Migas dan penghalangan pembangunan kilang telah mengkonfirmasi hasil temuan Tim Anti Mafia Migas sebelumnya. Hasil kajian Tim menyimpulkan bahwa mafia migas berburu rente pada impor BBM melalui bidding dan blending dengan menggunakan Petral, yang mendapatkan hak monopoli impor BBM Indonesia

Memang dalam bidding pengadaan impor BBM, Petral melakukkan secara on line, tetapi Tim menemukan keanehan bahwa pemenang bidding selalu National Oil Company (NOC) dari negara-negara bukan penghasil minyak, di antaranya: NOC Italia, Vietnam, dan Maldive. NOC itu ternyata digunakan sebagai frontier saja dalam bidding, sedangkan pemasok BBM ke Petral adalah perusahaan lain di Singapore, yang ditenggarai berafiliasi dengan oknum Mafia Migas.

NOC itu dapat memenangkan tender lantaran mendapat informasi dari “orang dalam” Petral atas tawaran harga NOC lainnya, sehingga NOC frontier tersebut dapat menawarkan harga lebih rendah untuk memenangkan tender. Modus ini akhirnya terungkap pada saat KPK menetapkan tersangka mantan Direktur Petral, setelah 5 tahun KPK melakukan penyidikan dan penyelidikan.

Agar tetap dapat berburu rente pada impor minyak, ada indikasi bahwa mafia migas melakukan upaya sistemik untuk menghalangi pembangunan kilang minyak di Indonesia. Tidak mengherankan kalau hampir 30 tahun Pertamina tidak dapat membangun Kilang. Padahal kilang yang dioperasikan Pertamina selama ini merupakan kilang-kilang yang sudah tua-renta. Bahkan kilang yang dibangun pada zaman Penjajah Belanda masih digunakan, antara lain: kilang Balik Papan (1894) dan kilang Plaju (1903). Sedangkan kilang minyak yang dibangun Pertamina umumnya juga sudah relatif tua, di antaranya Kilang Dumai (1971), dan Kilang Cilacap (1976), serta Kilang Kasim (1997).

Bukannya tidak ada upaya Pertamina sama sekali untuk pengembangan existing kilang minyak dalam Proyek Refining Development Master-plan Program (RDMP) di Cilacap yang bekerjasama dengan Saudi Aramco, maupun pembangunan Kilang Minyak Baru atau Grass Root Refinery (GRR) di Bontang, yang bekerja sama dengan OOG Oman. Namun, setiap kali kedua upaya itu dilakukan selalu saja muncul hambatan sistemik untuk merealisasikan, hingga pembangunan kilang kandas di tengah jalan.

Sebelumnya, Tim Anti Mafia Migas juga menemukan adanya indikasi penghalangan pembangunan kilang minyak. Pernah terjadi kesepakatan antara Pertamina dengan investor untuk membangun kilang, dengan salah satu syaratnya investor itu harus mendapatkan fiscal incentives. Namun, tanpa alasan yang jelas pengajuan fiscal incentives ditolak oleh Departemen Keuangan. Pernah juga terjadi, sudah ada kesepakatan antara Pertamina dengan investor dan Departemen Keuangan sudah pula menyetujui permintaan tax holiday, namun rencana pembangunan kilang tersebut kandas di Menteri Koordinasi Perekoomian.

Berdasarkan rentetan peristiwa tersebut semakin menguatkan indikasi bahwa mafia migas di balik peningkatan impor minyak dan penghalangan pembangunan kilang minyak, seperti yang dinyatakan oleh Jokowi. Pernyataan Jokowi itu tentunya ada dasar kuat dan informasi akurat bahwa mafia migas memang benar di balik peningkatan impor minyak dan penghalangan pembangunan kilang minyak.

Untuk menghalau mafia migas itu, Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri bakal mengawal pembangunan sejumlah kilang minyak Pertamina hingga selesai. Hal ini dilakukan untuk mengantisipasi adanya mafia migas dalam penghalangan pembangunan kilang tersebut. Kepala Bareskrim Polri Listyo Sigit Prabowo mengatakan pembangunan kilang ini terhambat oleh adanya mafia migas.

Inas benar bahwa pembangunan kilang minyak memang tidak serta merta menghentikan impor minyak sama sekali. Dengan produksi minyak sebesar 775 ribu barel, sedangkan konsumsi mencapai lebih 1,5 juta barrel per hari, sehingga saat ini masih diperlukan impor antara 700-800 ribu barrel per hari. Dengan dibangunnya kilang minyak akan dapat menghentikan impor BBM, tetapi masih dibutuhkan impor crude oil sebagai feeding kilang minyak tersebut. Namun, seiring dengan upaya SKK Migas untuk menaikkan lifting minyak hingga mencapai satu juta barrel per hari, impor minyak dapat diturunkan secara drastis, sehingga dapat menekan defisit neraca migas.

Lepas mewakili dirinya sendiri atau pihak lain, saya mengapresiasi keterangan pers Inas yang menyanggah pernyataan saya di media dengan pernyataan di media pula. Kendati Inas lama sebagai anggota DPR, tetapi sanggahan melalui media tersebut sangat akademis, yang diharapkan dapat memicu debat publik terkait kebenaran mafia migas di balik peningkatan impor dan penghalangan pembangunan kilang minyak. (Penulis adalah Pengamat Ekonomi Energi UGM dan Mantan Tim Anti Mafia Migas)

- Advertisement -

BERITA TERKAIT

TERPOPULER