MONITOR, Jakarta – Kementerian Agama telah menerbitkan Keputusan Menteri Agama No 982 tentang Layanan Sertifikasi Halal. Diktum kelima KMA ini mengatur bahwa “Dalam hal peraturan perundang-undangan mengenai besaran tarif layanan sertifikat halal sebagaimana dimaksud diktum Keempat belum ditetapkan, besaran tarif layanan sertifikasi halal dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku pada MUI dan LPPOM MUI yang memberikan sertifikasi halal sebelum ketentuan mengenai peraturan perundang-undangan terkait jaminan produk halal berlaku.”
Kepala Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) Sukoso menjelaskan bahwa diktum tersebut bukan berarti mengembalikan penyelenggaraan layanan sertifikasi halal kepada MUI. Menurutnya, diktum tersebut hanya mengatur tentang diskresi besaran tarif layanan sertifikasi halal, sembari menunggu terbitnya Peraturan Menteri Keuangan (PMK).
“KMA ini terbit sebagai diskresi agar layanan sertifikasi halal tetap berjalan dengan merujuk pada aturan besaran tarif yang selama ini diberlakukan oleh LPPOM MUI. Sebab, besaran tarif layanan sertifikat halal yang seharusnya dikeluarkan melalui Peraturan Kementerian Keuangan belum ditetapkan,” tegas Sukoso di Jakarta, Jumat (06/12).
“Jadi bukan berarti Kemenag mengembalikan mandat sertifikasi halal kepada MUI. KMA hanya mengatur, selama belum ada PMK tentang tarif layanan, maka biaya sertifikasi halal mengacu pada standar yang selama ini diberlakukan LPPOM,” lanjutnya.
Adapun proses dan tahapan sertifikasi halal lainnya, berjalan sebagaimana yang diatur dalam UU No 33 tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal dan PMA No 26 tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Jaminan Produk Halal.
Dijelaskan Sukoso, bahwa ada tiga pihak utama yang berperan dalam layanan sertifikasi halal, yakni Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH), MUI dan Lembaga Pemeriksa Halal (LPH). LPPOM MUI hanyalah salah satu dari LPH. Layanan sertifikasi itu sendiri mencakup pengajuan permohonan sertifikasi halal, pemeriksaan dan atau pengujian kehalalan produk, pengkajian ilmiah terhadap hasil pemeriksaan dan atau pengujian kehalalan produk , pelaksanaan sidang fatwa halal, dan penerbittan sertifikasi halal.
Sukoso menjelaskan, peran ketiga pihak dalam layanan sertifikasi halal secara jelas sudah diatur dalam KMA 982 ini. BPJPH berwenang dalam pengajuan permohonan dan penerbitan sertifikasi halal. MUI berwenang dalam pengkajian ilmiah dan pelaksanaan sidang fatwa halal. Sedang LPH berwenang dalam pemeriksaan dan atau pengujian kehalalan produk.
Lantas, kenapa KMA 982 hanya menyebut LPPOM MUI? Sukoso menjelaskan bahwa itu karena LPH yang ada saat ini dan memiliki pedoman pembiayaan, baru LPPOM MUI. Sementara dalam ketentuan peralihan PMA No 26 tahun 2019 diatur bahwa Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-Obatan, dan Kosmetika MUI dan LPH yang sudah ada sebelum Peraturan Menteri ini diundangkan, tetap diakui sebagai LPH dan wajib menyesuaikan dengan ketentuan Peraturan Menteri ini dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun terhitung sejak Peraturan Menteri ini diundangkan.
“Karena bersifat Diskresi, KMA ini hanya berlaku sampai diundangkannya peraturan terkait tarif layanan sertifikasi halal. Aturan itu yang akan dijadikan rujukan bersama seluruh LPH, tidak hanya LPPOM MUI, dalam melaksanakan fungsi pemeriksaan dan atau pengujian kehalalan produk,” jelasnya.
Sukoso menambahkan, seluruh proses layanan sertifikasi halal harus masuk ke BPJPH sesuai kewenangan yang diatur dalam pasal 6 UU 33 tahun 2014. BPJPH juga terus mengembangkan Sistem Informasi dan Manajemen Halal dan mensinergikannya dengan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) Kemenag.
“BPJPH juga mendorong berdirinya LPH-LPH baru sesuai amanat UU 33 tahun 2014. BPJPH saat ini sudah mendidik 226 calon Auditor Halal. Jika tiap LPH minimal 3 auditor, diharapkan ke depan akan bisa berdiri 79 LPH,” tuturnya.
“Azas transparansi dan good governance tentu menjadi landasan dalam pelaksanaan layanan sertifikasi halal ini,” tandasnya.