Oleh: Rokan Darsyah*
Masalah di BPJS Kesehatan itu tidak tercapainya target penghimpunan dana dari masyarakat dibanding subsidi pemerintah dari APBN dan subsidi dari Cukai Rokok, serta besarnya klaim BPJS Kesehatan
Sungguh kalau pemerintah kreatif dan mendalam untuk mengkaji faktor-faktor penyebab masalah kesehatan manusia yang ditimbulkan dari aktivitas ekonomi manusia sendiri maka sangat dimungkinkan bahkan tidak perlu ada iuran khusus untuk BPJS Kesehatan tersendiri. Bukan dengan menaikkan iuran BPJS Kesehatan yang malah akan berpotensi semakin banyaknya masyarakat menunggak, target dana terhimpun tak akan pernah tercapai. BPJS Kesehatan terus merugi, dan perokok terus menjadi kambing hitam karena pemerintah gagal mengurus pengelolaan jaminan kesehatan dengan kreatif, efektif, dan efisien.
Lalu dari mana sumber pendanaan BPJS Kesehatan tersebut bisa diambil? Apalagi ketentuan kepesertaan BPJS bersifat wajib.
Sesungguhnya, kesehatan manusia sangat erat kaitannya dengan kesehatan lingkungan di mana manusia tersebut berada. Karena itu asas yang biasa diterapkan di hukum lingkungan: polluter pays principle, bisa saja digunakan. Kita coba simulasi ya.
Sudah banyak catatan yang menunjukkan polusi udara sebagai salah satu faktor besar bagi timbulnya penyakit. Polusi udara sendiri sumber utamanya dari emisi kendaraan bermotor & emisi pabrik.
Pemerintah yang cerdas bisa saja mengalokasi pendanaan BPJS dari pajak kendaraan bermotor yang dibayarkan tiap tahun. Pemilik mobil tentunya bisa kena pajak kendaraan lebih tinggi dengan nantinya peroleh layanan kesehatan setara kelas I, atau pajak kendaraan motor yang dinaikkan dengan substitusi peroleh layanan kesehatan kelas II.
Pemerintah juga bisa kenakan pungutan tambahan untuk pengusaha yang mengelola pabrik dengan emisi tinggi untuk subsidi BPJS Kesehatan ini.
Okelah rokok dianggap berkontribusi negatif pada kesehatan masyarakat. Tapi pemerintah ga boleh buta dengan rentetan sejarah banyaknya kreativitas dan roda ekonomi bergerak disebabkan oleh perokok tersebut. Pemerintah mesti lihat ini sebagai bagian dari sosiologi hukum. Apa yang ada / das sein. Bukan hanya menjadi corong industri farmasi yg mayoritas masih dikuasai oleh asing. Karena itu, sebagian cukai rokok memang wajar jika disubsidikan ke BPJS.
Berikutnya. Pemerintah juga mesti menindaklanjuti peran junkfood yg menyebabkan tingginya timbul penyakit masyarakat. Produsen-produsen makanan instan yang tidak sehat ini juga mesti dikenakan kewajiban untuk pajak yang mereka bayarkan sebagian dialokasikan untuk subsidi BPJS Kes. Konsumen makanan instan akan dengan sendiri berkontribusi untuk membantu pendanaan BPJS Kes melalui makanan dan minuman instan yang mereka bayarkan.
Selanjutnya, pemerintah mesti menindaklanjuti bahwa kajian yang menyatakan bahwa kurang bergerak serta duduk terlalu lama di perkantoran adalah salah satu sumber penyakit. Kemenkes telah menyarankan untuk setiap pekerja melakukan senam ringan di area perkantoran pada jam kira2 10.30 pagi dan 14.30 siang. Himbauan tersebut yg merupakan bagian dari praktik terbaik Sistem Manajemen Kesehatan dan keselamatan Kerja mesti terus dipantau dan diberi insentif atau sanksi agar sebagai peraturan menjadi lebih bertaring. Setiap perusahaan yang tidak menerapkan bisa dikenakan sanksi untuk dana kesehatan jika tidak melaksanakan aturan tersebut.
Untuk jangka panjang. Market besar BPJS Kesehatan mestinya dimanfaatkan secara maksimal bagi peningkatan industri farmasi dalam negeri. Agar bahan baku obat tidak lagi 95% impor. Investasi juga mesti diberikan pada laboratorium dalam negeri agar obat2 yang diproduksi di Indonesia tidak lagi mesti diuji klinis di eropa atau jepang yg membuat biaya operasional BPJS Kes semakin membengkak. Juga investasi dan penerapan Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN) untuk alat-alat kesehatan yg diadakan oleh pemerintah agar semakin subur industri kesehatan dalam negeri.
Dengan terkumpulnya dana yang teralokasi dari pajak kendaraan bermotor, pajak pabrik beremisi tinggi, perusahaan makanan / minuman instan, dan sebagainya. Ditambahlagi pembenahan rantai pasok ke industri kesehatan demi kepentingan jangka panjang, maka jika jujur dan dikelola dengan baik, apakah masih perlu ditarik iuran BPJS Kesehatan tersendiri dengan biaya tinggi? 150 juta perbulan untuk gaji direktur BPJS Kesehatan seharusnya berfungsi untuk berfikir keras agar layak dibayar dengan gaji tinggi.
*Penulis AdalahWakil Ketua LAKPESDAM PWNU DKI Jakarta / Advokat Konsultan Hukum Industri / Lead Auditor Sistem Manajemen Kesehatan dan Keselamatan Kerja OHSAS (IRCA Certified)