Sabtu, 20 April, 2024

Perbandingan Gerakan Ekstra Parlemen Indonesia dan Hong Kong

Egi Gunawan *

Pasca dilantiknya Jokowi sebagai Presiden untuk kedua kalinya, juga terdapat gambaran partai politik mana saja yang menjadi oposisi. Sembilan partai politik yang lolos di parlemen, terdapat tiga partai yang menjadi bayang-bayang untuk disisakan menjadi oposisi di parlemen yaitu PKS, Demokrat dan PAN.

Jika dihitung-hitung kekuatan partai-partai tersebut hanya 148 kursi atau sekitar 25 persen saja. Pastinya, dengan tenaga dobrakan oposisi yang 25 persen tadi tidaklah cukup untuk mengontrol dan mempengaruhi kekuasaan, ditambah lagi ketiga partai tersebut tidaklah kokoh dalam menjadi oposisi yang kuat.

Pada kondisi seperti ini, dibutuhkan daya tambahan untuk dijadikan oposisi yaitu melalui ekstra parlementer, dalam sejarah gerakan di Indonesia, yang memiliki sejarah sebagai oposisi ekstra parlementer ialah gerakan mahasiswa.

Sejarah gerakan demonstrasi mahasiswa sejatinya selalu bermula akan gerakan-gerakan kecil yang selalu dilokomotifi oleh mahasiswa dengan jumlah yang terbatas. Walaupun gerakan ini berukuran kecil dan terbatas, hal tersebut selalu memberikan kekuatan yang besar untuk membakar semangat demonstrasi dalam rentang waktu yang cukup panjang.

Puasa Panjang Gerakan Mahasiswa

Aksi demonstrasi mahasiswa di Indonesia yang telah puasa sangat panjang, akhirnya terjadi kembali layaknya seperti memakan santapan makanan buka puasa. Kita telah melihat badai demonstrasi yang secara progresif dan masif yang dari kalangan mahasiswa pada bulan September 2019 lalu, rupanya momentum demonstrasi tersebut telah membangunkan kesadaran publik bahwa gerakan mahasiswa sebagai jembatan rakyat dan sebagai gerakan oposisi ekstra parlementer masih hidup.

Yang menjadi menarik perhatian ialah demonstrasi tersebut dilakukan hampir serentak di beberapa wilayah Indonesia dengan tuntutan yang hampir relatif sama dalam merespon untuk menolak secara keras terkait Rancangan undang-undang (RUU); RUU Pertanahan, RUU Permasyarakatan, RUU PK-S dan Undang-undang KPK.

Rupanya, aksi demonstrasi yang menyikapi hal diatas tersebut mendapat sorotan serius dan keras dari masyarakat beserta media-media lokal, nasional bahkan media internasional, yang acapkali membandingkan demonstrasi tersebut dengan demonstrasi-demonstrasi yang terjadi di Negara lain seperti halnya ialah di Hong Kong.

Apabila dilihat secara holistik, demonstrasi yang terjadi di Indonesia dan Hong Kong memang memiliki beberapa kemiripan, yaitu perihal tuntutan menolaknya penetapan RUU, namun arah kejelasan tuntutan demonstrasi di Hong Kong lebih jelas arahnya yaitu mengenai penolakan atas The Fugitive Offenders and Mutual Legal Assistance in Criminal Matters Legislation (Amandement) Bill 2019 atau RUU Ekstradisi.

Sebenarnya, RUU Ekstradisi ini memang sudah lama dibahas oleh Parlemen di Hong Kong, dimana poin yang mendapatkan kritikan tajam dari para demonstran yaitu mengenai RUU Ekstradisi, yang mana memungkinkan para tindak criminal yang tertangkap di Hong Kong bisa di kirim dan di adili di China.

Hal inilah yang menuai protes yang berkepanjangan dari masyarakat Hong Kong, dikhawatirkan apabila proses pengadilan dilakukan di China akan berjalan tidak adil, Hong Kong yang notabene merupakan bekas jajahan negara Inggris tidak mau didikte, dipengaruhi dan dijadikan boneka oleh China.

Akhirnya, RUU Ekstradisi memang pada 23 Oktober 2019 secara resmi telah dicabut, namun peencabutan tersebut tidak juga menghentikan demonstrasi. Tetapi jika dilihat lebih luas lagi, bahwa pencabutan RUU Ekstradisi di Hong Kong telah menunjukkan bahwa demonstrasi atau gerakan ekstra parlementer merupakan cara yang efektif, progresif dan dinamis.

Sedangkan di Indonesia sendiri, para demonstrasi menyatakan sikap penolakannya diberbagai RUU dan UU yang merupakan sedimentasi dari DPR RI di akhir masa jabatannya yang solah-olah mengejar target seperti halnya bangun kesiangan dan belum mengerjakan Take Home, alhasil beberapa RUU yang digodok oleh mereka banyak pasal karet, digodok belum matang yang kemudian mereka lemparkan produk asal-asalan tersebut kepada publik.

Dari beberapa tuntutan yang digaungkan oleh para demonstrasi di Indonesia, yang paling menuai banyak kritikan ialah RUU KPK dan RUU KUHP, dimana kedua RUU tersebut dianggap paling konyol, dan yang paling krusial ialah RUU KPK yang sangat berpotensi besar dalam melemahkan KPK dalam menjalankan peran dan tugasnya untuk memberantas korupsi di republik ini.

Fenomena Politik Gerakan

Reformasi kian barlalu sejauh 20 tahun lalu yang menyisakan berbagai persoalan, betapa tidak reformasi berhenti dipersimpangan kiri jalan. Giddens pernah mengilustrasikan bahwa ketidakpastian yang terjadi di negara barat lebih pada ketidakpastian teknologi, sedangkan yang terjadi di Indonesia lebih pada dimensi politik.

Dapat dilihat bahwasannya kondisi sosio-politik negeri saat ini merupakan hasil dari restrukturalisasi politik pada masa lalu yang kemudian sangat sulit dipisahkan dari fragmentasi politik kekinian. Tetapi pastinya ialah kekuatan demonstrasi mahasiswa ekstra parlementer harus mendapat tempat yang terhormat dalam perubahan iklim demokrasi politik di negeri ini, kalaupun jalanan harus menjadi mimbar bebas dan panggung rakyat yang sesungguhnya merupakan tempat terindah untuk menyuarakan aspirasi rakyat pada saat negeri ini sedang tidak baik-baik saja.

Gerakan ekstra parlementer dalam menolak RUU KPK, yang kemudian dilajutkan dengan penolakan-penolakan RUU lainnya adalah momentum besar untuk panggung demokrasi di jalanan, dimana gerakan mahasiswa sebagai gerakan moral dan gerakan perubahan adalah gerakan yang melanjutkan tradisi sejarah masa lalu bahwasannya demokrasi akan mati tanpa ada bangunan kekuatan penekan dari ekstra parlemen.

Karena pada dasarnya, demokrasi atau tidaknya suatu negara tidak hanya ditentukan melalui kualitas dan proses politik yang diikuti kecurangannya belaka, melainkan kualitas demokrasi sangat ditentukan melalui kontrol politik yang tidak hanya dilakukan oleh parlemen atau pemerintah saja, karenanya gerakan ekstra parlemen masih sangat efektif dan masif untuk menyuarakan keadilan dan opini publik.

Pasca demonstrasi September (23/24), sesungguhnya terdapat kekhawatiran, dimana kekuatan gerakan ekstra parlemen malah melemah, namun disisi lainnya terdapat harapan dimana gerakan mahasiswa di Indonesia dalam beberapa momentum masih mampu menunjukkan taring gerakannya.

- Advertisement -

Ketika oposisi parlemen disuntik dan dilucuti kekuatannya, maka publik masih mempunyai harapan terakhir pada gerakan ekstra parlementer, yaitu gerakan mahasiswa. Dimana, demonstrasi dan demokrasi merupakan dua hal yang tidak terpisahkan sebagai bagian dari akselerasi pembangunan. Jika jalanan adalah panggung terbesar rakyat, maka suara dan gerakan mahasiswa adalah momok pendobraknya atas tumpul dan mandulnya kekuasaan.

*) Penulis adalah Mahasiswa Magister Ilmu Politik Universitas Indonesia


- Advertisement -

BERITA TERKAIT

TERPOPULER