Kamis, 25 April, 2024

Pimpinan DPR: Sumpah Pemuda Harus Jadi Benteng Ancaman Global

MONITOR, Jakarta – Peringatan Sumpah Pemuda pada 28 Oktober esok diharapkan dapat menjadi momentum membangun kembali persatuan dan kesatuan bangsa dalam rangka terhindar dari bentuk ancaman global. Sebab, Indonesia berdiri di atas landasan nilai, yang berfungsi sebagai pengikat segala macam perbedaan yang ada.

Demikian disampaikan Wakil Ketua DPR, Azis Syamsuddin dalam keterangan tertulisnya, di Jakarta, Minggu (27/10).

Dikatakan Azis, Prof. Sunario Sastrowardoyo sebagai salah satu penggagas Sumpah Pemuda tahun 1928 menyebutkan bahwa nilai persatuan dan kebangsaan Indonesia tidak dilatari oleh faktor kultural, ras, wilayah atau agama tertentu saja.

“Tapi justru kompleksitas perbedaan itu diletakkan di atas landasan perasaan senasib sepenanggungan. Perasaan inilah yang mengikat semua jenis perbedaan yang sangat banyak di Indonesia,” kenang Azis.

- Advertisement -

Sayangnya, sambung Azis, beberapa tahun terakhir ini, bangsa Indonesia gagap mendefinisikan dinamika politik dalam konteks Pilpres. Dimana, banyak pihak mengartikan Pilpres tersebut sebagai perjuangan hidup mati mempertahankan eksistensi kelompok.

“Maka tak ayal, kekacauan makna pun terjadi. Jargon-jargon “perang” justru muncul pada konteks damai; konteks perjanjian dagang dan investasi antar negara diartikan sebagai aneksasi, dan konteks Pemilu diartikan sebagai revolusi,” papar dia.

Akibatnya, imbuh politikus Golkar itu, nilai persatuan bangsa Indonesia terguncang hebat. Dimana, konteks bergerak liar dan nilai suatu pendapat ataupun tindakan digantungkan pada keberpihakan politik. Bahkan -yang paling mencemaskan dari semuanya- kaidah keilmuan pun dikebiri.

“Pendapat-pendapat dan analisis ilmiah yang berupa kritik ataupun apresiasi dicurigai memiliki tendensi, dimasukkan dalam konteks politik dan pilpres yang bergerak demikian dinamis,” tegas Azis.

Tidak hanya itu, saat ini bangsa Indonesia kehilangan gugus makna dari Sumpah Pemuda. Salah satu contoh, rekonsiliasi yang dilakukan Presiden Jokowi dan Prabowo Subianto dianggap melanggar kode etik politik.

“Sehingga meski keduanya bersatu dalam satu kerangka kerjasama, langkah politik mereka dipahami sebagai sebuah ambivalensi yang melanggar keadaban politik. Demikian juga ketika para elit politik bersatu dan duduk bersama dalam satu kabinet kerja, tidak sedikit pihak yang kecewa,” kata Azis.

“Padahal ancaman global menjadi tantangan besar yang tidak mungkin dihadapi pemerintah sendiri, selain dengan menggabungkan seluruh komponen kekuatan politik di tanah air. Persatuan dan kesatuan sebagaimana diamanatkan dalam nilai-nilai Sumpah Pemuda menjadi benteng ancaman global,” pungkasnya.

- Advertisement -

BERITA TERKAIT

TERPOPULER