MONITOR, Jakarta – Rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) mendesak untuk segera disahkan. Meskipun, nasib RUU tersebut kabarnya akan kembali dikaji oleh DPR mulai dari nol. Hal demikian diungkapkan Ketua Pusat Studi Islam Perempuan dan Pembangunan ITB Ahmad Dahlan Jakarta, Yulianti Muthmainnah.
Yuli mengatakan, RUU PKS sangat penting karena mengatur aturan-aturan pasal yang sifatnya spesifik dan belum ada dalam aturan sebelumnya. Misalnya, terkait kasus trafficking, KDRT hingga pelecehan seksual.
“Sanksi kasus trafficking itu ada keterbatasanya dalam UU Trafficking, pun demikian dengan UU KDRT juga ada keterbatasannya, dan keterbatasan itu coba dilengkapi melalui adanya RUU PKS,” kata Yuli, panggilan akrab Yulianti, saat mengisi diskusi bertema ‘RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, Perspektif dan Jawaban Mubadalah dan HAM; Tantangan bagi Anak Muda’ di Cafe Undertwenty Ciputat, Tangerang Selatan, Kamis (17/10).
Ia mengingatkan, RUU PKS sangat spesifik membahas pasal untuk menjerat pelaku kejahatan atau kekerasan seksual. Misalnya, kata Yuli, dalam kasus pelecehan seksual yang sangat variatif bentuknya.
“Dulu kalau laki-laki apalagi seorang bos megang organ intim karyawan perempuannya, itu dia tidak kena (jerat hukum) karena tidak ada dalam KUHP, nah spesifik itu bagian dalam pelecehan seksual. Tapi di RUU PKS ini masuk dalam kategori pelecehan seksual, karena menyentuh tubuh perempuan, swiit-swiit (bersiul) atau aktifitas yang tujuannya merendahkan itu ya bagian dari pelecehan seksual,” ujarnya menjelaskan.
Yuli kembali mencontohkan kasus Marsinah, seorang aktivis dan buruh pabrik yang menjadi korban pelanggaran HAM sekaligus pemerkosaan keji. Bagian genital tubuhnya disodok (maaf) dengan botol dan kayu balok hingga luka robek tak teratur sepanjang 3 cm dalam tubuh Marsinah. Luka tersebut menjalar mulai dari dinding kiri lubang kemaluan (labium minora) sampai ke dalam rongga perut.
“Kasus Marsinah yang alat kelaminnya disodok menggunakan botol dan kayu ini tidak bisa dihadapkan depan hukum, padahal perkosaan itu bukan hanya harus bertemu antara penis dengan vagina. Karena keterbatasan itulah kita harus melihat jauh ke depan. Ini kan perempuan yang dirugikan, kalau dirugikan begini trus kita mau ngapain, masa diam saja?” celetuk Yuli.
Pun demikian pada persoalan perbudakan seksual. Yuli mengatakan RUU PKS melarang tegas perempuan dijadikan sebagai objek seks sebab hal itu sangat merugikan perempuan.
“RUU PKS melarang perempuan jadi objek seks, akan tetapi bahas yang digunakan adalah larangan perbudakan seksual. Nah soal milku yamin, yang kemarin sempat heboh, Doktor di UIN Jogja itu kan mencoba membuat interpretasi baru bahwa boleh orang berhubungan seks tanpa harus menikah dan lain sebagainya. Dan itu sebenarnya kan merugikan perempuan,” ujar Yuli, yang merupakan Dosen ITB Ahmad Dahlan.
“RUU PKS sudah lebih dulu ngomong nggak boleh itu perempuan jadi objek perbudakan seksual, cuma karena bahasanya itu bukan bahasa fiqih, makanya ditolak. Padahal kalau dibaca dengan baik, itu sama isinya,” pungkasnya.