MONITOR, Jakarta – Wakil Ketua DPR RI Fahri Hamzah mengatakan bahwa aksi demontrasi yang dilakukan mahasiswa sebagai gerakan moral dan sosial atau pada awalnya gerakan moral yang dapat menjadi tindakan sosial.
Sebab, sambung dia, gerakan mahasiswa pada dasarnya sangat sulit ditebak kemunculannya. Karena memang bisa secara tiba-tiba muncul begitu ada perasaan yang harus disuarakan, yang terkadang tidak berani disuarakan oleh kelompok lain.
“Dan (gerakan) itu tidak bisa dihindari, riset-riset sosiologi mengatakan sering mahasiswa muncul sebagai jawaban seberapa banyak persoalan yang tidak dapat dijurubicarakan oleh kelompok masyarakat lainnya, yang dalam terori sosial dianggap memiliki moral konten yang lebih rendah ketimbang gerakan mahasiswa.
“Sehingga, pada situasi inilah mahasiswa berada pada top (strata atas) dalam suatu gerakan,” tambahnya.
Karena itu, kata Fahri setiap gerakan aksi massa yang dilakukan oleh mahasiswa baik negara melalui aparatur dan politisi, sudah seharusnya disikapi dengan mengedepankan moral konten, dan difasilitasi dalam rangka menggelar dialog.
“Jangan kemudian ada represif, jangan ada tekanan, pertama-tama mereka harus disambut dan ketika dia datang ke DPR ada mekanisme untuk bertemu dan saya terus terang berulang mengatakan bahwa perlunya dibuat alun-alun demokrasi supaya ada mekanisme bagi demonstran dan perwakilannya dapat bertemu,” papar sebut inisiator Gerakan Arah Baru Indonesia (GARBI) itu lagi.
Sehingga, dalam penanganan gerakan mahasiswa perlu adanya kehati-hatian, terutama bila adanya gejala friksi-friksi fiksi di lapangan dengan aparat keamanan yang tidak mungkin dapat dihindari.
” Sehingga hal itu harus dihindari, apabila terpaksa harus melakukan maka negara dalam hal ini aparat harus dalam posisi tetap berupaya membatasi diri untuk tidak menjadi bagian benturan, apalagi memulai benturan,” ujarnya.
“Ini lah batas yang dibuat, kita ingin mahasiswa sebagai moral force tentu sampai diujung tetap sebagai moral force, jangan sampai dia mengalami persinggungan dengan gerakan yang tidak bisa berbicara tidak bisa berdialektika tetapi hanya mengandalkan kekerasan fisik. Yang semacam ini akan mendapat respon tekanan fisik juga dari aparat yang tugasnya menghentikan secepat mungkin segala bentuk kerusakan di ruang publik.”
“Ini yang perlu dicatat dan kita sadari semua sebagai cara kita menghadapi kemungkinan-kemungkinan benturan antara mahasiswa dengan negara,” pungkas aktivis ’98 itu