MONITOR, Yogyakarta – Produk Domestik Bruto (PDB) atau Gross Domestic Product (GDP) Indonesia yang semakin meningkat mendorong pemerintah untuk melakukan Reformulasi program transmigrasi. Reformulasi tersebut dilakukan dengan model bisnis kolaborasi antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan swasta.
Hal tersebut disampaikan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi, Eko Putro Sandjojo saat membuka Kongres Nasional Transmigrasi Indonesia di Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Selasa (17/9).
“Kita tidak bisa pakai paradigma lama karena zamannya berbeda. Saat program transmigrasi pertama diluncurkan, GDP per kapita Indonesia di bawah 10 US Dollar. Sekarang GDP per kapita sudah 4.000 US Dollar. Diperkirakan tahun 2045 GDP sudah 20.000 US Dollar. Kita perlu dorong model-model transmigrasi yang kolaboratif, jadi tidak dari sisi pemerintah saja,” ujarnya.
Eko mengatakan, pengembangan kawasan transmigrasi juga harus memanfaatkan perkembangan teknologi industri 4.0. Ia menepis anggapan ketidakmampuan transmigran bersaing di era tersebut.
“Ada yang mencibir bagaimana memulai 4.0 di daerah transmigrasi. Mereka salah. Teknologi 4.0 adalah bagaimana menggunakan teknologi tersebut agar menjadi lebih produktif dan gampang, sehingga orang yang tidak memiliki knowledge (pengetahuan) juga bisa memanfaatkannya untuk produktifitas lebih baik,” terangnya.
Menurutnya, program transmigrasi telah berkontribusi besar terhadap pertumbuhan ekonomi di luar jawa. Meski demikian, tantangan program transmigrasi saat ini lebih besar mengingat kebutuhan transmigran masa lalu dan saat ini jauh berbeda. Tak hanya rumah, lahan pertanian, dan biaya hidup sementara, menurutnya, transmigran juga butuh model bisnis baru yang dapat memberikan nilai tambah bagi transmigran.
“Dulu yang penting bisa dipindahkan dari daerah padat ke daerah yang membutuhkan. Transmigran diberikan sandang, pangan, papan sudah cukup. Saat ini tidak hanya cukup hanya itu. Mereka ingin anaknya sekolah sampai perguruan tinggi, hidup layak seperti masyarakat menengah di perkotaan,” ujarnya.
Untuk itu ia meminta peserta Kongres Nasional Transmigran agar dapat merumuskan model yang bisa memberikan benefit lebih besar kepada transmigran. Jika tidak ada benefit lebih yang diberikan pada transmigran, ia khawatir para transmigran agar pulang ke kampung halaman atau melakukan urbanisasi ke kota.
“Semoga kongres ini bisa menciptakan model bisnis baru untuk transmigrasi, untuk menjawab tantangan-tantangan besar kita di masa akan datang,” ujarnya.
Wakil Rektor Bidang Perencanaan Keuangan dan Sistem Informasi UGM, Supriyadi mengatakan, UGM aktif berpartisipasi membangun desa, daerah tertinggal, dan transmigrasi sejak 1970-an. Salah satu partisipasi tersebut adalah dengan mengirimkan lebih dari 8.000 mahasiswa Kuliah Kerja Nyata (KKN) setiap tahunnya.