MONITOR, Depok – Kementerian Pertanian (Kementan) melalui Direktorat Jenderal Tanaman Pangan tengah menggenjot ekspor sekaligus percepatan investasi bidang tanaman pangan. Sejumlah investor dan ekspotir bidang tanaman pangan dikumpulkan dengan menghelat Rapat Koordinasi (Rakor) Percepatan Investasi Bidang Tanaman Pangan di Depok, Jawa Barat, Kamis malam (12/9/2019).
Direktur Jenderal Tanaman Pangan, Suwandi menyatakan percepatan ekspor dan investasi bidang tanaman pangan merupakan pengejewantahan secara kongkret kebijakan Presiden Joko Widodo untuk mempercepat investasi dan ekspor. Tercatat, neraca perdagangan sektor pertanian surplus 11 Miliar USD. Namun demikian perlu tetap mendorong investasi dan ekspor sektor pertanian.
“Sesuai arahan Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman, kita bertekad memperluas investasi di bidang tanaman pangan. Petani kalau disuruh membangun usahataninya sendiri pasti kesulitan, maka perlu adanya investasi untuk membangun sektor tanaman pangan. Potensi yang ada di tanaman pangan tidak hanya dari sisi onfarm saja tapi juga hilir,” demikian dikemukakan Suwandi dalam Rakor tersebut.
Menurut Suwandi, langkah nyata guna percepatan ekspor dan investasi yakni salah satunya dengan membangun industri pertanian di desa. Dengan adanya industrialisasi di desa maka akan terwujud keseimbangan kota dan desa. Desa dikembangkan menjadi industrialisasi berbasis agro karena lebih dekat bahan baku, tenaga kerja dan lahan tersedia, plus didukung infrastruktur, kota menjadi pusat pasarnya.
“Hubungan desa-kota semakin kuat. Demikian juga halnya untuk Jawa dan luar Jawa, wilayah Barat dan Timur, hubungan ekonomi menjadi semakin seimbang,” jelasnya.
Ke depannya, sambung Suwandi, tidak ada lagi remote area, namun daerah pelosok mulai dikembangkan dengan meilhat potensi sumberdaya di masing-masing wilayah. Karena itu, ia berharap kesempatan kali ini akan ditindaklanjuti dengan pertemuan tematik.
“Kita akan bahas industri jagung, industri ubi kayu ataupun industri kacang tanah dan hijau yang sedang trend naik saat ini. Kita harus bisa menangkap peluang yang ada, seperti halnya kacang hijau,” ujarnya.
Menurut Suwandi, ekspor kacang hijau hampir 10 persen dari produksinya selama ini. Budidayanya mudah, dua bulan sudah dipanen dan nilai jualnya juga tinggi. Dengan demikian, ini salah satu contoh potensi besar yang bisa dikembangkan dari komoditas tanaman pangan.
“Sama halnya dengan Bapak Menteri Pertanian Amran yang sedang intensif mendorong investasi, kita pun harus serius mulai mempermudah perizinan,” tuturnya.
Lebih lanjut Suwandi menyebutkan berbagai peluang investasi yang menarik di bidang tanaman pangan adalah industri perbenihan, pupuk organik dan pestisida hayati ramah lingkungan, budidaya jagung skala luas corn estate dan berbagau jenis industri olahan. Selain itu, korporasi multi komoditas lengkap hulu hingga hilir seperti kebun jagung beserta industri jagung pakan dan ternak.
“Ini sebagai langkah awal yang lebih baik untuk mengembangkan usaha tanaman pangan,” tandas Suwandi.
Di tempat yang sama, Kepala Subdirektorat Fasilitasi Promosi Luar Negeri BKPM, Sri Endang Novitasari mengungkapkan pentingnya meningkatkan arus investasi langsung yang berorientasi ekspor.
“Pasalnya, investasi dapat membuka lapangan kerja sekaligus meningkatkan volume ekspor,” ungkapnya.
Perlu diketahui sejak tahun 2017 Indonesia masuk ke dalam G20. Secara ekonomi Indonesia urutan 16 terbesar di dunia dengan GDP lebih dari USD 1 triliun. Indonesia sendiri menyumbang 2.5 persen dari pertumbuhan ekonomi dunia. Bahkan, ada keyakinan lembaga rating akan perekonomian Indonesia yang dibuktikan dalam 3 tahun terakhir mengalami peningkatan peringkat dari 120 menjadi 73.
“Hal ini mengindikasikan bisnis di Indonesia semakin dipermudah,” tutur Sri Endang.
Tahun 2019 diakui sebagai tahun politik yang mengakibatkan PMA cenderung menurun. Namun demikian, Sri Endang menjelaskan sektor primer yang termasuk di dalamnya sektor pertanian menyumbang investasi sebanyak Rp 600 triliun atau sekitar 17,5% dari total realisasi investasi. Bahkan realisasi PMDN sektor tanaman pangan, hortikultura, perkebunan dan peternakan Januari sampai Juni tahun 2019 naik 11,7 persen, lebih tinggi dari kenaikan tahun 2018 sebesar 9,5 persen.
“Secara total, realisasi investasi tahun 2014-Juni 2019 total Rp 3.372,4 triliun naik 206% dari periode 2010-2014 sebesar Rp 1.634 triliun,” jelasnya.
Dorong Investasi
Sri Endang menyatakan terdapat tiga hal utama untuk mendorong investasi di Indonesia. Pertama, dengan mengurangi prosedur perizinan. Kedua simplifikasi regulasi yang tumpang tindih dan inkonsisten. Yang ketiga, melakukan perizinan secara online melalui Online Single Submission (OSS) dengan sistem data sharing yang bisa dipakai oleh seluruh Kementerian dan Lembaga.
“Tantangan ke depan untuk investasi sektor tanaman pangan dengan mengatasi tiga permasalahan utama yaitu perizinan, pengadaan lahan serta perbaikan regulasi dan kebijakan yang inkonsisten,” tuturnya.
“Ini yang harus kita carikan solusi bersama karena sektor pertanian menjadi salah satu dari sektor prioritas untuk investasi,” tambah Sri Endang.
Terkait pengadaan lahan, Sigit Nugroho, perwakilan dari Ditjen Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan Kementerian LHK menjelaskan bahwa dari luas kawasan hutan sebesar 120,65 juta hektar, ada potensi yang bisa dimanfaatkan untuk tanaman pangan, yaitu seluas 12,8 juta hektar berupa hutan produksi yang dapat dikonversi (HPK) untuk sektor lain.
“Bagaimana prosedurnya pemanfaatan kawasan hutan baik untuk dikerjasamakan maupun dilepas sudah kami atur dalam peraturan perundang-undangan. Khusus pelepasan HPK untuk pemanfaatan tanaman pangan disesuaikan dengan prosedur izin usaha, bisa dilakukan dengan permohonan ke Menteri melalui OSS,” bebernya.
Suharyo Husein dari KADIN pun mendukung apa yang disampaikan Sri Endang dari BKPM. Ia mengatakan dengan populasi 260 juta jiwa dan tingkat konsumsi tinggi menjadi pendorong investasi bidang makanan. Sektor makanan selama ini menjadi penyumbang tertinggi PMDN senilai Rp 7,1 triliun.
“Selama ini hambatan investasi ada pada inkonsistensi regulasi, pajak, tenaga kerja, ketersediaan lahan dan kualitas infrastruktur,” sebutnya.
“Yang paling signifikan sebenarnya adalah ketersediaan lahan, infrastruktur, teknologi dan akses terhadap teknologi, pembiayaan dan iklim usaha. Itu yang harus kita cari solusinya,” pinta Suharyo.
Sebagai bahan pertimbangan pemerintah, Suharyo mengajukan usulan kebijakan investasi seperti halnya penyediaan lahan bagi perluasan produksi, menyediakan infrastruktur pendukung, mempercepat perluasan dan peningkatan kapasitas pelabuhan, peningkatan produktivitas, menghapus bea masuk atas impor beberapa produk dan penguatan kemampuan pemasaran. Contoh konkret bentuk Food Estate terutama corn estate sebagai salah satu alternatif.
“Investasi dengan ekstensifikasi bisa dilakukan baik dengan pola inti plasma, maupun kerjasama penuh dengan petani,” ucap Suharyo.
Seorang pengusaha tepung tapioka asal Surabaya, Alex menyatakan pentingnya teknologi sebaik mungkin untuk meningkatkan income petani. Penting untuk meningkatkan teknologi perbenihan, teknologi pemupukan, tapi yang paling penting teknologi pascapanen. Dengan adanya teknologi ini, bisa menghasilkan keuntungan lebih besar.
“Dengan teknologi budidaya, seperti halnya di lahan kami dari 1 hektar sebanyak 5.400 batang bisa menghasilkan 150 ton singkong,” jelasnya.
Tepung tapioka ini diolah lebih lanjut menjadi beras analog. Pasar beras analog sangat besar, bahkan International Diabetes Federation (IDF) membuka peluang kebutuhan akan beras analog ini.
“Target kami bisa mensuplai beras analog untuk diabetes dengan produksi 25 ton per hari. Kami siap bekerjasama dan meningkatkan pendapatan petani dengan upaya bersama meningkatkan teknologi pascapanennya,” tandas Alex.