MONITOR, Jum’at – Mantan Sekretaris Satuan Kerja Khusus (SKK) Migas, Gde Pradnyana mengajak semua pihak untuk menata kembali iklim investasi sektor minyak dan gas bumi (migas) Indonesia agar lebih menarik dan bergeliat kembali, salah satunya dengan tidak alergi dengan investasi asing di sektor migas.
“Paradigma migas dikuasai asing sudah harus mulai dihilangkan dalam persepsi masyarakat terlebih setelah mengamati kinerja 5 tahun Pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam upaya mengembalikan kembali kedaulatan atas sumber-sumber ekonomi yang penting bagi negara termasuk pembenahan masalah subsidi yang merupakan sebuah beban sangat berat,” katanya dalam acara Bedah Buku karyanya “Nasionalisme Migas” di Indonesia Internasional Book Fair (IIBF) di JCC Senayan, Jakarta, Jum’at (6/9/2019).
Menurut Gde, dalam era industri 4.0 dimana kegiatan ekonomi tidak perlu melulu dimaknai sebagai dikerjakan sendiri, maka investasi asing sangat berbeda bentuknya dengan penguasaan atas sumber-sumber kekayaan alam seperti pada masa penjajahan. Investasi asing menurutnya saat ini merupakan salah satu bentuk dari sharing economy, yaitu dalam hal sharing risk (berbagi risiko) karena dalam melakukan eksplorasi dan eksploitasi migas tingkat kegagalannya cukup besar.
“Untuk itu diperlukan mitra yang kuat, sebagaimana halnya kemitraan antara pemilik sawah (negara selaku pemilik ladang migas) dan penggarap dalam hal ini KKKS yang memiliki kekuatan finansial, teknologi, dan kemampuan memikul resiko yang cukup agar tercipta kemitraan yang harmonis sehingga migas tidak lagi semata-mata dilihat dari sudut penerimaan negara dari sektor hulu migas, melainkan juga dalam upaya untuk pengurangan defisit belanja energi di sektor hilir,” ungkapnya.
“Fakta yang kita saksikan saat ini justru banyak negara yang tidak memiliki kekayaan alam malah lebih maju ketimbang negara yang memilikinya. Untuk maksud tersebut maka integrasi hulu-hilir menjadi keniscayaan,” tandasnya.
Gde menambahkan konsumsi migas yang sangat besar oleh sektor transportasi, misalnya mesti diatasi dengan menyediakan sarana transportasi yang murah ketimbang menyediakan BBM yang murah. Subsidi BBM dialihkan menjadi subsidi atas sarana transportasi. Ia mengutip pernyataan Presiden Jokowi saat menjadi Gubernur DKI bahwa “infrastruktur itu dibangun untuk orang, bukan untuk mobil”.
“Maknanya adalah pemanfaatan angkutan umum harus ditingkatkan kualitasnya untuk mengurangi minat masyarakat menggunakan angkutan pribadi. Perintah presiden untuk menyamakan harga BBM di seluruh Indonesia harus dimaknai sebagai penyediaan energi yang terjangkau bagi seluruh rakyat Indonesia. Ini dapat diwujudkan dengan konversi BBM ke sumber energi lain, termasuk ke gas bumi,” tegas Gde.
Dengan demikian, lanjut Gde pembangunan depo, bunkering LNG, dan jaringan logistik minyak dan gas yang kuat akan dengan sendirinya membuat harga energy (termasuk BBM) menjadi terjangkau. Apalagi ke depan pemakaian sarana transportasi berbasis listrik akan semakin meningkat maka penyediaan listrik hingga ke pelosok-pelosok menjadi keharusan.
“Kegiatan-kegiatan ini dapat didukung dari hulu, baik itu kegiatan hulu migas, batubara, biofuel, maupun kegiatan hulu pembangkitan energi primer lainnya. Ini membutuhkan kolaborasi dengan berbagai pihak termasuk mengundang investasi asing dalam bentuk sharing economy tadi,” ujarnya.
MONITOR, Jakarta - Dipanggilnya Tubagus Chaeri Wardana alias Wawan dan Fahmi hakim ketua DPRD Provinsi…
MONITOR, Jakarta - Pemilih muda diperkirakan akan memainkan peran penting dalam menentukan hasil Pemilihan Kepala…
MONITOR, Jakarta - Komisi III DPR RI telah menetapkan lima pimpinan KPK terpilih dan lima…
MONITOR, Jakarta - Menteri Agama Nasaruddin Umar menyampaikan bahwa guru adalah pahlawan sejati. Hal tersebut…
MONITOR, Pasuruan - Komisi IV DPR RI menyoroti permasalahan sektor persusuan nasional dalam kunjungan kerja…
MONITOR, Jakarta - PT Jasamarga Transjawa Tol (JTT) selaku pengelola 4 ruas segmen operasi jalan…