MONITOR, Jakarta – Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Wilayah Muhammadiyah DKI Jakarta bekerjasama dengan LPP Al-Islam dan Kemuhammadiyahan UHAMKA menyelenggarakan kajian rutinan Fiqih Perempuan mengupas masalah Muammalah di Kampus UHAMKA Jakarta, Rabu (4/9/2019). Pada kajian ini, hadir para dosen-dosen kampus, anggota Muhammadiyah serta aktivis angkatan muda Muhammadiyah.
Dalam kesempatan itu, Nur Achmad selaku narasumber dari MTT PWM DKI Jakarta mengungkapkan kasus persoalan perempuan bukanlah hal baru di Muhammadiyah. Ia menyatakan Muhammadiyah sudah lama dan lebih maju jika bicara mengenai persoalan kehidupan perempuan.
“Muhammadiyah menurut saya lebih maju dalam hal-hal persoalan kehidupan perempuan,” kata Nur Achmad dalam diskusi tersebut.
Bicara soal kehidupan perempuan, Nur Achmad mengatakan dalam konteks sejarah Islam, Rasulullah tidak pernah sekalipun memukul perempuan.
Bahkan, keberadaan produk hukum Islam tidak langsung jadi tetapi melalui proses.
“Misalnya Islam mengajarkan untuk mengajari dulu (suami kepada istrinya) baru dan wadribuhuna (pukullah) tapi pukulannya yang tidak menyakiti sedikitpun,” ujarnya menjelaskan.
Selain itu, Dosen ITB Ahmad Dahlan ini memaparkan tentang jihad yang dilakukan perempuan baik meliputi karir menjadi pemimpin hingga persoalan pernikahan dan sunat perempuan.
“Dulu, jihadnya perempuan itu ya dirumah. Perempuan boleh jadi pemimpin. Kalau nikah di usia dini, dilihat dulu mashlaahatnya, mudhorotnya. Jangan melihat saat kepada Rasulullah yang dulu menikah dengan Aisyah yang masih usia dini, karena hal ini hitungan umurnya berbeda dengan saat ini. Pernikahan itu sejajar saling menikmati,” terangnya.
Sementara itu, Anggota Majelis Hukum dan HAM PP ‘Aisyiyah Yulianti Muthmainnah juga mengungkapkan beberapa isu perempuan dan anak yang patut menjadi kajian bersama.
“Isu-isu perempuan dan anak di tingkat nasional dan internasional yang harus kita beri perhatian, yaitu mulai dari korban pedofil, korban kapitalis, yang diambil organ tubuhnya, korban kelompok radikal,” ujar Yulianti.
Yuli, yang merupakan Aktivis Perempuan ini juga mengungkapkan saat ini pihaknya tengah melakukan upaya advokasi bagi perempuan TKI yang tidak memiliki dokumen lengkap sehingga tercekal di luar negeri. Menurutnya, Negara harus memberikan jaminan perlindungan kepada warga negaranya terutama perempuan yang bermasalah di luar negeri.
“Advokasi yang kita tawarkan bukan soal illegal, tetapi yang undocumented, bagi mereka yang tidak punya dokumen yang lengkap aja, juga dapat kekerasan, tidak bisa mendapatkan hak-hak lainnya. Mereka harus memiliki dokumen, supaya tidak digugat,” tandas Yuli.