MONITOR, Jakarta – Pengamat Terorisme & Intelijen Harits Abu Ulya menilai aksi penyerangan yang dilakukan Imam Musthafa (IM) terhadap aparat kepolisian di Mapolsek Wonokromo, Surabaya, Jawa Timur, merupakan aksi kriminal.
Ia mengatakan pelabelan aksi penyerangan tersebut sebagai tindakan terorisme yang bergerak sendiri (Lone Wolf) sangat berlebihan.
“Menurut saya aksi tersebut adalah aksi kriminal saja. Terlalu hiperbola kalau di labeli sebagai aksi terorisme,” kata Harits dalam keterangan tertulisnya yang diterima MONITOR, Senin (19/8).
Harits mengambil contoh komperasi kasus yang dilakukan Organisasi Papua Merdeka (OPM). Sebagai kelompok yang terorganisir memiliki jaringan serta tujuan politik ideologi, melakukan aksi teror kekerasan bahkan banyak aparat dari kepolisian maupun TNI yang tewas di tangan mereka.
“Tapi justru para pejabat terkait kompak melabeli mereka sebagai kelompok kriminal bersenjata (KKB),” sebut dia.
Lebih lanjut, Harits mempertanyakan unsur atau variabel yang kemudian membuat kepolisian sangat bernafsu melabeli aksi Imam Musthafa sebagai aksi terorisme?. 
Apakah, sambung dia, karena ada simbol-simbol agama tertentu dari Islam. Seperti, sambung dia, istri tersangka bercadar, pelaku mengenakan celana cingkrang, rajin ibadah ke masjid yang kemudian menjadi framing di media ke publik bahwa motif penyerang adalah ‘jihad’.
“Kemudian semua indikasi tersebut bisa menggiring bermuara kepada kesimpulan itu aksi terorisme dan di lakukan secara mandiri (lone wolf), sebab terpapar paham radikal melalui internet. Ini sangat oversimplikasi dan tidak proporsional,” ujar Harits.
Padahal, kara Harits, jika mengacu pada definisi terorisme dalam UU terorisme perlu adanya kehati-hatian dalam melabeli suatu tindakan agar tidak outside.
Jangan sampai, imbuh dia, hanya karena ada simbol agama tertentu atau menguar soal motif terkait dengan terminogi Jihad kemudian dilabeli teroris.
“Menurut saya itu mendistorsi makna teroris dan justru cenderung menstigma atau mendiskriditkan Islam. Sekali lagi kita perlu hati-hati dan bijak,” ucapnya.
“Saat ini dalam isu terorisme, penafsiran terhadap fakta aktual berdasarkan UU terorisme yang ada oleh banyak pihak cenderung sangat subyektif bahkan condong terkooptasi atau berkelindan dengan kepentingan politis,” tukas Harits.
MONITOR, Tangsel - Sejumlah mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) UIN Syarif Hidayatullah…
MONITOR, Jakarta - Ketua DPR RI Puan Maharani menegaskan bahwa suara rakyat bukan sekadar aspirasi,…
MONITOR, Tangsel - Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta menggelar ‘The 2nd…
MONITOR, Jatim - Kementerian Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) berkomitmen memperkuat model kemitraan yang…
MONITOR, Jakarta - Menteri Imigrasi dan Pemasyarakatan (Imipas), Agus Andrianto, laksanakan panen raya jagung hibrida…
MONITOR, Jakarta - Langkah Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR RI yang menggelar sidang awal terkait…