MONITOR, Jakarta – Anggota DPD Provinsi DKI Jakarta Dailami Firdaus menilai rancangan undang-undang (RUU) tentang penghapusan kekerasan seksual (PKS) tidak sesuai dengan karakter dan jati diri bangsa bahkan keluar dari asas dasar negara, yakni Pancasila.
Ia menerangkan jika RUU PKS memiliki dasar mengubah cara pandang masyarakat untuk mengikuti pola feminisme yaitu ” Tubuhku adalah Milikku ” (My Body Is Mine), dimana setiap bentuk pengaturan terhadap tubuh dan perilaku seksual perempuan dianggap sebagai bentuk kekerasan berbasis gender atau kekerasan seksual.
“Karena dengan pemikiran ini maka tidak ada siapapun ( orang tua, nilai agama dan negara ) yang bisa mengontrol dan mengatur perempuan ingin berpakaian seperti apa, berperilaku seksual seperti apa dan dengan siapa,” kata Ketua Dewan Pembina Badan Kontak Majelis Taklim (BKMT) DKI Jakarta, dalam keterangan tertulisnya, Senin (22/7).
Tidak hanya itu, Ketua Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia (ICWI) Korwil DKI Jakarta ini juga memaparkan beberapa hal yang memperlihatkan dan menggambarkan kehadiran RUU PKS bukanlah menjadi solusi, tapi justru membuka konflik baru perihal kesetaraan dan lainnya, antara lain : mengenai asas RUU P-KS yang tidak berasaskan Pancasila dan UUD 1954 serta asas religiusitas.
“RUU P-KS dapat menghapus dan membatalkan beberapa pasal UU Perkawinan No 1 Tahun 1974, juga Hukum perkawinan yang sesuai dengan ajaran Islam bagi Pemeluknya, karena konsep penanganan kekerasan seksual dalam Islam sangat berbeda dengan RUU P-KS ini,” terangnya.
Masih dipaparkannya, pada BAB VII Pasal 11 pada RUU P-KS ini, tidak mencantumkan “Zina” (hubungan seksual diluar Nikah walaupun atas dasar suka sama suka) sebagai Kekerasan Seksual yang dapat dihukum pidana.
“RUU P-KS tidak membedakan antara kekerasan seksual suami isteri dalam keluarga yang telah sah melalui perkawinan, dengan kejahatan seksual yang dilakukan oleh non suami istri,” sebut dia.
Sementara itu, terlait pemaksaan Kontrasepsi pada Pasal 14 Pemaksaan kontrasepsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) huruf c adalah Kekerasan Seksual yang dilakukan dalam bentuk mengatur, menghentikan dan/atau merusak organ, fungsi dan/atau sistem reproduksi biologis orang lain, dengan kekerasan, ancaman kekerasan, tipu muslihat, rangkaian kebohongan, atau penyalahgunaan kekuasaan, sehingga orang tersebut kehilangan kontrol terhadap organ, fungsi dan/atau sistem reproduksinya yang mengakibatkan Korban tidak dapat memiliki keturunan.
“Definisi ini juga harus di tambahkan mengenai bagaimana mengatur peredaran atau penyebaran alat-alat kontrasepsi dan obat obatan serta alat alat peraga seksual agar tidak dijual umum atau mudah didapatkan,” pungkasnya.
Termasuk, bunyi pada Pasal 16 RUU P-KS yang berbunyi: “Perbuatan menggunakan kondisi seseorang yang tidak mampu memberikan persetujuan untuk melakukan perbuatan seksual adalah pidana perkosaan”.
“Pasal ini sangat absurd menilai kejahatan pidana perkosaan. Sebab hubungan seksual suami istri tidak selamanya dimulai dalam posisi saling menyetujui terlebih dahulu, sebab hubungan seksual keduanya telah sah, saat mereka melaksanakan akad nikah di KUA dan lembaga hukum lainnya,” tandasnya.
Untuk itu, Dailami berharap agar umat muslim menolak pengesahan RUU ini yang justru akan menjadi beban pemerintah dengan adanya pembentukan lembaga baru, dimana seharusnya pemerintah lebih menguatkan lembaga yang ada dan sesuai dengan kondisi saat ini.