MONITOR, Jakarta — Pengamat Politik dari Universitas Al Azhar Indonesia Ujang Komaruddin mengatakan, dalam politik semua kemungkinan bisa saja terjadi.
Termasuk, ihkwal wacana dibentuknya kabinet rekonsiliasi dalam pemerintahan periode kedua Presiden Joko Widodo (Jokowi), yang menampung kawan maupun lawan di Pilpres 2019 kemarin.
Ia mencontohkan, pada 2014 lalu, bagaimana ketika itu kader Golkar dan PAN yang bukan pendukung Jokowi-JK saat itu tetapi mendapat jatah kursi menteri. Yang akhirnya, sambung dia, di tengah jalan kedua partai politik tersebut justru masuk koalisi Jokowi-JK.
“Jika ada kader partai yang bukan pendukungnya masuk kabinet, ya mungkin-mungkin saja,” kata Ujang saat dihubungi, Rabu (12/6).
Dikatakan dia, karena politik itu sifatnya dinamis dan cair. Sehingga tidak ada musuh atau kawan abadi yang ada hanya kepentingan politik saja.
Karena itu, andaikan kabinet rekonsiliasi terlaksana, maka minimal bisa menjadi pendidikan politik bagi masyarakat kedepannya.
“Jika ada wacana kabinet rekonsiliasi ya baik-baik saja. Baik untuk pembangunan bangsa ke depan,” ucapnya.
“Karena bagaimanapun republik ini milik bersama. Bukan hanya milik kubu 01,” tambah dia.
Dikatakan dia, dalam proses politik tidak boleh ada anggapan the winner takes all atau dengan kata lain pemenang mengambil alih semua. Sehingga, upaya merangkul lawan adalah sebuah keniscayaan.
“Karena bagaimanapun Jokowi jika memimpin kembali dalam lima tahun kedepan, perlu kestabilan politik agar bisa membangun. Dan kabinet rekonsiliasi adalah salah satu jalannya menuju ke sana,” pungkas dia.