MONITOR, Pamekasan – Sebagai generasi milenial, Mahasiswa Perguruan Tinggi Keagamaan Islam (PTKI) diharapkan lebih aktif menyuarakan moderasi beragama. Harapan ini disampaikan Kepala Seksi Kemahasiswaan Direktorat Pendidikan Tinggi Keagamaan Islam Ruchman Basori, saat menjadi narasumber pada Seminar Nasional yang diselenggarakan oleh Institut Agama Islam Negeri Madura (IAIN Madura).
“Mahasiswa menjadi elemen penting dalam strategi diseminasi moderasi beragama terutama untuk menyasar kelompok terpelajar dan milenial,” ujar Ruchman, Rabu (6/3).
Menurut Ruchman, hal ini disebabkan mahasiswa yang rata-rata berusia diantara 20-35 tahun memiliki tiga ciri yang strategis guna mendorong diseminasi moderasi beragama.
Pertama, mahasiswa biasanya sangat percaya diri (confidence). “Mereka berani mengemukakan pendapat dan tidak sungkan-sungkan berdebat di depan publik,” ujar Ruchman.
Kedua, kelompok Milenial ini merupakan sosok yang kreatif. “Biasa berpikir out of the box, kaya akan ide dan gagasan dan mampu mengkomunikasikan gagasan itu dengan cemerlang,” kata Ruchman.
Ketiga, kata Ruchman generasi milenial ini juga berciri connected yaitu pribadi-pribadi yang pandai bersosialisasi. “Terutama dalam komunitas yang mereka ikuti dan aktif berselancar di sosial media dan internet,” lanjut alumni UIN Wali Songo ini.
Menurut Ruchman, tentunya ini menjadikan kekuatan mahasiswa untuk menebarkan keagamaan yang moderat, damai dan toleran.
Hasil riset BNPT yang menyebutkan 39 mahasiswa Indnesia terpapar intoleransi dan radikal menjadi alarm penting.
Riset Alvara juga memapaparkan, temuan bahwa mahasiswa yang setuju dengan negara Islam perlu diperjuangkan untuk penerapan Islam secara kaffah sebesar 23,5%, yang setuju khilafah sebagai bentuk pemerintahan yang ideal di banding NKRI ada 17,8% dan yang siap berjihad untuk tegaknya negara Islam/khilafah mencapai 23,4%.
Ruchman pun merasa, hal ini perlu menjadi perhatian para aktivis mahasiswa. Maka, aktivis Mahasiswa ’98 ini mengajak aktivis mahasiswa untuk menjadikan radikalisme dan terorisme menjadi musuh bersama (common enemy) dalam issu-issu gerakan mahasiswa saat ini.