MONITOR, Jakarta – Hari Peduli Sampah Nasional (HPSN) sudah berjalan selama 14 tahun (21 Februari 2005-21 Februari 2018). Penetapan dan peringatan HPSN tanggal 21 Februari dilatarbelakangi oleh peristiwa longsornya gunungan sampah di tempat pembuangan akhir (TPA) Leuwigajah Bandung Jawa Barat yang terjadi pada 21 Februari 2005. Tragedi longsornya TPA Leuwigajah, selain memakan korban ratusan jiwa meninggal juga mengubur puluhan rumah, persawahan dan dua kampung hilang dari peta (JawaPos,2005).
HPSN telah diperingati setiap tahun oleh baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah termasuk Pemprov DKI Jakarta sebagai bentuk keprihatinan dan kepedulian terhadap sampah. Namun, sampai saat ini kota terbesar sekaligus ibu kota Indonesia ini masih mengelola sampah dengan cara konvensional, yakni kumpul-angkut-buang dan berakhir menumpuk secara terbuka (open dumping) di TPA Bantargebang Kota Bekasi.
“14 tahun HPSN, tapi Jakarta urus sampah konvensional, kumpul-angkut-buang dan berakhir menumpuk secara terbuka (open dumping) di TPA Bantargebang Kota Bekasi,” kata Ubaidillah, Ketua Komite Pemantau Pembangunan ITF Jakarta.
Ubaidillah yang juga pengamat lingkungan perkotaan Jakarta, mengatakan pola penanganan sampah di Jakarta yang masih dengan cara demikian merupakan suatu ironi, pasalnya pola penanganan dengan mengumpulkan sampah, mengangkut, dan membuang di tempat pembuangan akhir (TPA), itulah yang berpotensi menjadi malapetakan seperti yang telah dialami TPA Leuwigajah Bandung. Apalagi volume sampah Jakarta yang sangat besar mencapai 7.000 ton per hari, hanya ditumpuk secara terbuka dan dilakukan pemadatan (Controlled Landfill).
Karena itu HPSN pada tahun 2019 ini harus dijadikan momentum oleh Pemprov DKI Jakarta untuk berfikir keras melakukan inovasi teknologi yang lebih tepat, efektif dan ramah lingkungan sebagai solusi darurat sampah Jakarta, sambung Ubaidillah.
Ubaidillah menerangkan sebagai salah satu alternatif solusi manajemen sampah Jakarta kedepan pemprov DKI Jakarta sudah harus merancang teknologi yang mampu memilah sampah dalam jumlah besar, sehingga sampah yang telah terpilah sesuai jenisnya akan dapat memudahkan dilakukan pemprosesan akhir sesuai jenis sampahnya, sebagai contoh; sampah jenis organik untuk diolah menjadi energi alternative dan untuk dikompos, sampah jenis anorganik untuk didaur ulang, untuk dimusnahkan, untuk dijual secara aman dan legal kepada swasta, termasuk memungkinkan untuk mengembalikan sampah kepada produsen.
Sementara itu Direktur Eksekutif Jakarta Public Service (JPS), M Syaiful Jihad yang juga anggota Komite Pemantau Pembangunan ITF Jakarta, menyatakan sebagai upaya mengurangi beban volume gunungan sampah di TPA Bantargebang, sesungguhnya Pemprov DKI Jakarta sudah lama merencanakan teknologi alternatif yang disebut efektif yakni rencana proyek pembangunan Intermediate Treatment Facility (ITF) di Sunter Jakarta Utara.
“Proyek pembangunan ITF Jakarta di Sunter Jakarta Utara yang sudah lama direncanakan Pemprov DKI Jakarta harus benar-benar dapat diwujudkan agar dapat mengurangi volume gunungan sampah di TPA Bantargebang dan mengurang ketergantungan terhadap Kota Bekasi” ujar Syaiful.
Ditambahkan Syaiful, ITF Jakarta atau Intermediate Treatment Facility adalah fasilitas pengolahan sampah dalam kota dengan teknologi yang mampu memusnahkan sampah dalam jumlah besar dengan menggunakan energi panas bertempratur tinggi (Incinerator), yang mana energi panas dari proses pembakaran sampah tersebut bisa dimanfaatkan menjadi listrik atau pembangkit listrik berbasis sampah (PLTSa).