Kamis, 25 April, 2024

Perang Pemikiran dan Konstruksi Sosial Era Digital

Oleh: Nazar Saepul Rahman*

Dewasa ini, Indonesia telah masuk pada zaman yang setiap informasi bisa didapat dengan mudah. Informasi tersebut dapat diambil dari berbagai sumber seperti tokoh, buku, berita atau karya ilmiah. Setiap orang dapat menyampaikan pendapat, teori dan hipotesisnya terhadap sesuatu. Penyampaian tersebut dapat mudah diakses melalui sebuah sistem bernama internet. Fenomena tersebut merupakan sebuah fenomena yang menyebar ke seluruh dunia dan sering disebut digitalisasi.

Keterbukaan informasi dan kebebasan berpendapat hari ini memang menjadi sebuah keniscayaan. Memang jika berbicara kebermanfaatan, hal tersebut tentu dirasakan berbeda oleh setiap individu. Terlepas positif atau negatif, keadaan tersebutb layak untuk dikaji terlebih oleh akademisi yang menjadi masyarakat kelas tengah penghubung antara kelas elit dengan kelas bawah. Alasannya adalah bahwa setiap keterbukaan informasi dan kebebasan berpendapat diruang publik yang ditunjang dengan digitalisasi telah merambah ke dalam persoalan ilmu pengetahuan dan praktik berpolitik bahkan saling keterkaitan. Banyak tokoh-tokoh dalam ruang diskusi menggunakan bahasa bahkan argumentasi yang tidak semua orang awam dapat mencerna dengan baik.

Masyarakat awam khususnya yang menjadi target audiens dalam setiap diskusi di ruang publik tentu menimbulkan dampak tersendiri. Peranan digitalisasi merupakan penunjang penyebarluasan informasi. Jika beberapa tahun kebelakang acara-acara seperti ILC dan Mata Najwa dilihat melalui tayangan televisi saja, sekarang sudah terintegrasi dengan sistem digital dan dapat ditonton melalui tanyangan youtube atau instagram dan twitter walaupun hanya cuplikannya saja.

- Advertisement -

Diskusi-diskusi tersebut semakin seru karena tidak hanya didasarkan asumsi melainkan argumentasi yang berlandaskan teori. Kemudian argumentasi-argumentasi tersebut terkadang carikan delik sehingga terus hangat dibahas oleh lawan politik. Rocky Gerung misalnya, beliau berargumentasi dengan sudut pandang disiplin ilmu filsafat. Argumentasi yang diutarakan sering menjadi kontroversi seperti “jika fiksi itu artinya mengaktifkan imajinasi maka kitab suci itu fiksi”. Kata-kata tersebut diutarakan dalam upaya penjelasan makna fiksi yang menurutnya sekarang telah disalah artikan. Bahkan kata-kata tersebut dicarikan delik sehingga baru-baru ini beliau dipanggil polisi atas kata-kata yang beliau utarakan tersebut.

Disatu sisi memang hal yang sangat wajar ketika kata-kata tersebut menjadi sebuah kontroversi karena bahasan filsafat memang tidak mudah dimengerti oleh setiap orang. Disisi lain pelaporan-pelaporan karena argumentasi seperti itupun akan berimbas panjang dan cenderung mempersempit ruang dialektika. Secara harfiah filsafat berarti pecinta atau mencintai kebijaksanaan. Argumentasi yang disampaikan berorientasi pada pencarian kebijaksanaan bukan kebenaran yang absolute. Dalam kasus inipun banyak narasi yang mencoba membenturkan filsafat dengan agama. Komentar-komentar yang keluarpun bersifat SARA dan delik politik identitas yang berpotensi menimbulkan konflik dengan menarik ke persoalan konstelasi politik Pilpres 2019. Tidak jarang keadaan inipun malah menimbulkan efek domino seperti terbelahnya masyarakat, konflik SARA berkepanjangan dan fanatisme yang berlebihan.

Kemudian kasus lain misalnya dalam harlah muslimat NU, Said Aqil Siraj (Ketua Umum PB NU) mengeluarkan kalimat yang konotasinya menimbulkan polemik. Bermaksud untuk memotivasi warga NU supaya lebih berpengaruh dalam setiap dimensi kehidupan malah dianggap sebagai pemecah belah kaum muslim dan memunculkan kembali konflik lama antara NU dan ormas islam lain terutama di grassroot. Kemudian kata-kata tersebut dikonotasikan sebagai bahasa politis karena KH. Maruf Amin menjadi calon wakil Presiden berpasangan dengan Joko Widodo.

Konstruksi Sosial Era Digital

Media, baik media mainstream maupun digital banyak dimanfaatkan untuk mendapatkan resourses. Dalam perkembangannya media sangat ampuh untuk kontrol opini dan konstruksi sosial masyarakat. Aliran Frankfurt berpendapat bahwa media menjadi alat dalam pembentukan perilaku, mempengaruhi politik dan mengelola permintaan konsumen. Hal tersebut memang sangat jelas terlihat dalam fenomena kekinian, para pemangku kepentingan menggunakan media dalam upaya konstruksi sosial dan kontrol opini untuk mencapai kepentingannya. Setiap pesan yang disampaikan mengacu pada teori hermeneutika. Teori tersebut merupakan teori yang menjelaskan sebuah proses interpretasi kata. Hermeneutik diambil dari bahasa Yunani berasal dari kata Hermes yaitu dewa dalam mitologi Yunani yang menjadi perantara dewa Zeus dengan manusia. (Masykur Wahid, 2015 : 16)

Interpretasi memang sudah lama digunakan dalam mengungkap fenomena yang terjadi. Jika ditinjau dari perkembangan pemikiran terdapat beberapa fase paradigma pemikiran, (mitos-filsafat-ilmu). Dalam teori hermeneutik pengungkapan mitos menjadi sebuah pengetahuan merupakan konstruksi paradigma menggunakan interpretasi. Dalam hal lain, islam misalnya menyampaikan wahyu kepada Nabi Muhammad SAW. wahyu tersebut dinamakan Al-quran yang tidak dapat dipahami secara paripurna jika hanya ditinjau secara tekstual saja. Interpretasi digunakan untuk mengungkap tafsir dibalik kata secara kontekstual.

Teori diatas menjadi sebuah referensi terkait argumentasi bahwa media menjadi alat kontrol opini dan konstruksi sosial dari pemangku kepentingan kepada masyarakat. Pesan yang disampaikan tentu didasarkan pada kepentingan komunikator sehingga dapat diinterpretasikan oleh komunikan sesuai dengan tujuan komunikator. Oleh karena itu pendapat yang disampaikan bersifat subjektif dan sarat dengan kepentingan. Pendapat tersebut bertujuan untuk menjatuhkan lawan, menimbulkan konflik dan dikotomi sosial. Bukan menjadi hal yang mustahil ketika nantinya konflik tersebut akan bertambah besar dan melibatkan golongan besar pula. Menanggapi hal tersebut perlu adanya sebuah formulasi agar nantinya keadaan tersebut tidak menimbulkan efek berkepanjangan yang bersifat negatif dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Pemerintah lewat regulasi yang dihasilkan sangat berpengaruh juga. Sudah ada undang-undang nomor 11 tahun tahun 2008 yang diubah oleh UU nomor 19 tahun 2016 tentang informasi dan transaksi elektronik. Hasilnya Buni Yani, Ahmad Dani, Rocky Gerung dan yang lainnya dilaporkan.

Timbul perdebatan apakah hal tersebut selesai dengan UU ITE? Tentu banyak pendapat yang berbeda mengenai ini, tetapi sementara dapat dianalisis hal tersebut tidak selesai dengan UU ITE. UU yang seharusnya menjadi sebuah aturan main justru menjadi alat dalam menjatuhkan orang yang berseberangan kepentingan. Trend saling menjatuhkan lawan dengan melaporkan atas tuduhan pelanggaran UU ITE menjadi booming akhir-akhir ini dikalangan politisi dan menimbulkan kegaduhan tersendiri. Hal tersebut kemungkinan akan terus terjadi walaupun hingar bingar politik Pemilu serentak telah usai.

Penyelesaian masalah terkait persoalan ini tentunya akan menjadi PR besar bagi siapapun yang menang dalam kontestasi Pemilu Serentak. Perlu adanya resolusi konflik dan rekonsiliasi antarpihak yang berselisih sehingga hal tersebut tidak berlarut. UU ITE bukan menjadi sebuah solusi dalam meredam konflik karena pendapat di ruang publik akan diinterpretasikan berbeda sesuai dengan kepentingan subjektif. Ruang-ruang publik disisi lain menjadi positif jika diisi dengan pengetahuan-pengetahuan ilmiah yang tentunya akan meningkatkan pengetahuan masyarakat awam, tetapi menjadi negatif jika tidak menyeluruh dan kontroversial ditambah dengan delik politik atas nama UU ITE.
Kemudian masyarakat sebagai audiens yang cerdas dalam menanggapi hal tersebut sangat dibutuhkan.

Proses penyebaran informasi tidak terlepas dari proses komunikasi. Meminjam teori Lasswell komunikasi didefinisikan “who? Says what? In which channel? To whom? And with what effect?” Teori ini berpendapat bahwa proses komunikasi dapat ditinjau dari kredibilitas komunikator, pesan yang disampaikan, channel yang digunakan, kapasitas komunikan dan efek yang dihasilkan. Dengan keterbukaan informasi komunikan dapat mengidentifikasi komunikator atau sebaliknya dan pesan yang disampaikan tidak menjadi sebuah hal yang memicu konflik.

Ustadz Adi Hidayat mempunyai pendapat yang hampir sama mengenai hal diatas. Beliau mengatakan bahwa sebagai komunikan harus melihat 2 aspek dalam menerima pesan. Ungkapan “undzur ilaa maa qaala, walaa tandzur illa man qaala”. Mendengar nasihat lihatlah apa yang disampaikan bukan siapa yang menyampaikan. Kedua “undzur ilaa man qaala, walaa tandzur ilaa maa qaala”. Mendengar pendapat lihatlah siapa yang mengatakan bukan apa yang dikatakan. Cara kedua ini sama seperti mengidentifikasi kesanadan hadits yang mempunyai indikator tolak ukur pemahaman komunikator, sikap dan sifat, serta lingkungan yang membentuk pemikiran komunikator. Dengan demikian informasi dapat difilter sehingga tidak menimbulkan konflik SARA.

*Penulis merupakan Ketua Umum PK IMM FISIP UMJ periode 2017-2018

- Advertisement -

BERITA TERKAIT

TERPOPULER