MONITOR, Jakarta – Pakar Kelautan sekaligus Guru Besar Fakultas Perikanan IPB, Prof Rokhmin Dahuri mengajak pemerintah daerah kabupaten untuk merubah orientasi pembangunan berbasis ekonomi maritim untuk kemajuan masyarakat.
Dalam paparannya saat menjadi narasumber pada acara Rekernas III dan Workshop Nasional ADKASI (Asosiasi DPRD Kabupaten se Indonesia) di Hotel Red Top, Jakarta, Sabtu (9/2/2019), Mantan Menteri Kelautan dan Perikanan era Kabinet Gotong Royong itu mengatakan bahwa sudah banyak kemajuan di bidang maritim telah direngkuh dalam empat tahun terakhir.
“Penegakkan kedaulatan, khususnya pemberantasan Illegal fishing oleh nelayan asing, dan program konservasi lingkungan telah membuahkan hasil menggembirakan. Pembenahan teknologi dan manajemen pelabuhan mampu memangkas dwelling time, dari 9 hari pada 2014 menjadi rata-rata 4,5 hari sejak 2016. Kalau hingga 2014 sekitar 70% ekspor produk Indonesia harus melalui (transhipment) Pelabuhan Singapura, sejak 2016 hanya tinggal 50%,” ujarnya.
Dalam forum yang dibuka oleh Menkopolhukam Wiranto dan juga dihadiri oleh Wakil Ketua KPK, Saut Sitomurang, Jampidum Kejagung Nur Akhmad, SH dan Anggota BPK, Bambang Pamungkas itu Rokhmin Dahuri juga memaparkan berbagai pembangunan pelabuhan yang berpotensi meningkatkan ekspor.
“Beroperasinya 18 trayek Tol Laut telah memperlancar, mempermudah, dan mempermurah arus penumpang dan barang di seluruh wilayah Nusantara. Sehingga, disparitas harga barang-barang antar wilayah pun menurun cukup signifikan,” ungkapnya.
Namun, menurut Guru Besar Mokpo National University Korea Selatan itu, kehidupan nelayan, pembudidaya ikan, pengolah dan pedagang hasil perikanan semakin susah akibat terlalu rumit, lama, dan mahalnya mendapatkan izin usaha perikanan.
“Sebagian besar kebijakan dan regulasi hanya mengutamakan pelestarian sumber daya ikan, tetapi kurang memperhatikan aspek ekonomi dan kesejahteraan nelayan, pembudidaya perikanan, dan stakeholders perikanan lainnya. Nelayan cantrang, pukat hela, dan pukat tarik lainnya tidak bisa melaut. Usaha budidaya ikan kerapu, lobster, kepiting soka (cangkang lunak), dan kepiting bertelur gulung tikar. Puluhan pabrik pengolahan ikan dan seafood di hampir semua kawasan industri perikanan, seperti Belawan, Sibolga, Bungus, Muara Baru (Jakarta), Cilacap, Benoa, Bitung, Ambon, Tual, Kaimana, dan Sorong sekarat, lantaran kekurangan bahan baku,” paparnya.
“Dengan sebab yang sama, 14 pabrik surimi (bahan dasar untuk bakso ikan, crab sticks, chiquita, dan produk bernilai tambah lainnya) di sepanjang Pantura mengalami matisuri. Nilai ekspor perikanan turun drastis, dari 4,6 milyar dolar AS pada 2014 menjadi 3,2 milyar dolar AS pada 2017. Ratusan ribu nelayan, pembudidaya, buruh pabrik dan pedagang ikan jadi pengangguran. Ujungnya, gelombang demonstrasi masif merebak dimana-mana sejak Maret 2015 hingga 2018 memprotes keras kebijakan perikanan yang mematikan itu,” tambahnya.
Padahal tambahnya, tidak perlu mendikotomikan antara konservasi sumberdaya ikan dan ekosistem laut dengan upaya peningkatan pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat kelautan.
“Dengan, aplikasi inovasi teknologi dan manajemen yang tepat, kita bisa meningkatkan kontribusi sektor perikanan terhadap perkonomian dan kesejahteraan masyarakat, tanpa harus merusak kelestarian sumber daya ikan dan ekosistem laut,” tandasnya.