Sabtu, 27 April, 2024

Membangun Budaya (Sadar) Bertoleransi

Oleh: Hasin Abdullah*

Menjelang finalisasi tahun politik semangat bertoleransi masyarakat (kerukunan) dari pelbagai agama terlampau subur terjadi di negara demokrasi ini, tidak hanya demikian. Isu keislaman pun kian dimainkan sebagai alat untuk menjatuhkan lawan dalam medan perpolitikan, bahkan seolah-olah ada perbedaan ideologis terkait Islam moderat (toleran) dan Islam garis keras.

Peristiwa itu bagian dari sikap intoleransi yang paling mendasar, karena ketegangan soal keislaman kepemimpinan Jokowi dan Prabowo banyak dipersoalkan, keduanya pun dibanding-bandingkan. Isu seperti demikian sangat tidak relevan jika dicampur aduk dengan isu politik. Peristiwa ini sungguh mengejutkan karena kedewasaan publik dalam menyikapi perbedaan aliran tapi bukan keyakinan masih saja dipertentangkan.

Dalam bingkai kehidupan masyarakat yang majemuk perbedaan aliran, terutama Islam adalah sesuatu yang paling substantif, dan tidak perlu ada persoalan maupun perdebatan. Karena perbedaan itu menunjukkan kemajemukan, kekayaaan, dan kedewasaan dalam menjaga benteng persatuan sebagai tanggung jawab keummatan dan kebangsaan.

- Advertisement -

Kitab suci Allah swt dalam al-Qur’an menuturkan, bahwa “katakanlah (Muhammad), “wahai ahli kitab! Marilah (kita) kita menuju kepada satu kalimat (pegangan) yang sama antara kami dan kamu (kalimatin sawa), bahwa kita tidak menyembah selain Allah dan kita tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun, dan bahwa kita tidak menjadikan satu sama lain tuhan-tuhan selain Allah. Jika mereka berpaling maka katakanlah (kepada mereka), “saksikanlah, bahwa kami adalah orang Muslim.” (Q.S. Ali Imran/3: 64).

Secara eksplisit, konteks penafsiran ayat di atas sesungguhnya memperjelas betapa urgensinya membangun kerukunan antar umat beragama di tengah menipisnya toleransi. Indonesia sebagai negara multikultural (majemuk) yang terdiri dari pelbagai suku, agama, ras, dan antar-golongan (SARA) terikat dalam ideologi Pancasila yang final. Artinya, secara lebih kompleks Islam dan Pancasila mengajak masyarakat hidup damai dalam dua dimensi yang berbeda. Yaitu dimensi keislaman dan keindonesiaan yang telah bertemu dan menyatu dalam rumusan falsafah kenegaraan kita, yaitu Pancasila yang menghargai nilai-nilai kemajemukan dan kebhinekaan. Karena itulah, kemajemukan sebagai bentuk kongkretnya keniscayaan dalam Islam harus diadopsi serta pentingnya membumikan kembali nilai-nilai toleransi (tasammuh).

Merawat Peradaban Bangsa

Kegilaan negara di dunia mengakui keharmonisan pelbagai jenis agama di Indonesia. Mereka banyak belajar mengenai Bhineka Tunggal Ika serta prinsip-prinsip toleransi dan pluralisme agama di Indonesia, tentu dengan penegakan prinsip-prinsip itulah pembangunan peradaban sebuah negara serta perdamaian bangsa dan negara melekat pada sifat sosio multikulturalistik.

Pada era Orde Baru (Orba), Indonesia terdapat lima agama. Namun ketika merambah pada Era Reformasi, periode kepemimpinan Presiden Abdurrahman Wahid menetapkan keputusannya berdasarkan (Keppres) no. 6/2000, tapi pemerintah mencabut larangan atas agama, kepercayaan (keimanan) dan adat istiadat Tionghoa. Keppres no. 6/2000 diterbitkan oleh kewenangan Presiden Adurrahman Wahid ini ditopang oleh kekuatan Surat Keputusan (SK) Menteri Agama Republik Indonesia no MA/12/2006 yang menyatakan bahwa Pemerintah mengakui keberadaan agama Kon Hu Cu, demikian hasil penetapan tersebut muncul enam macam agama di Indonesia: Agama Islam, Kristen Protestan, Katolik, Hindu, Buddha, dan Kong Hu Cu.

Sikap pemerintahan pada Era Reformasi tersebut (Gusdur), toleransi agama semakin dijunjung oleh segelintir elite agama demi rekonsiliasivitas antar-golongan, dan kedamaian yang kini digagaskan oleh ide Presiden Abdurrahman Wahid sebagai bapak pluralisme kebangsaan. Di satu sisi, berasal dari kalangan Islam dimana dia adalah sosok kiai yang menjunjung nilai-nilai tasammuh secara substansi.

Menyoal sumber toleransi serta kerukunan umat beragama pada ranah keindonesiaan, ketegangan untuk saling menjaga sikap merupakan hal yang paling penting, baik secara humanistik maupun sosialistik. Pasalnya, keteguhan perdamaian bangsa adalah model dan rujukan, banyak forum global terkait kerukunan umat beragama serta menggali nilai-nilai Islam yang damai dan rahmatan lil ‘alamin diselenggarakan di bumi pertiwi ini.

Kehebatan negara Pancasila, telah menampakkan prinsip perdamaian yang nasional meski Indonesia bukan negara Islam (Islamic state) konflik intoleransi agama jarang muncul. Mulai dari peperangan, invasi radikalisme yang mengatasnamakan agama. Urgensinya, negara Indonesia paling tidak, bisa jadi teladan (uswah) atau kiblat perhatian internasional para penduduk dari penjuru dunia, khususnya negara Islam yang masif konflik intoleransi.

Berdasarkan jumlah suku, Indonesia terdiri atas 1.200 suku, 720 bahasa daerah, serta beragam kultur kegamaan dan keyakinan, namun bisa bersatu menjadi sebuah bangsa yang besar karena kuatnya toleransi, dan jiwa kemanusiaannya saling dipandang serta dihormati, terutama dengan eksisnya istilah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan sila pertama alias “Ketuhanan yang Maha Esa”. Alhasil, kedua dimensi ini bisa menunjukkan gigi taring kebangsaan dalam menjunjung prinsip Bhineka Tunggal Ika walau penuh perbedaan tetap satu jua.

Islam agama yang rahmah, agama toleran. Jadi Islam sebagai agama yang dinomor-satukan oleh pendiri bangsa (founding fathers) berdasarkan penetapan sila pertama, sikap toleransi terhadap lain agama maupun sesame agama penting untuk terus-menerus disosialisasikan sesuai keyakinan masing-masing, termasuk untuk dimulai dari Islam terlebih dahulu sebagaimana yang tercatat dalam hukum syariat Islam terkait cinta tanah air sebagian dari iman (hubbul wathan minal iman). Sehingga, kegilaan cinta terhadap bangsa bisa menjaga prinsip-prinsip ini dengan relevan.

Bangunan sadar bertoleransi hendaknya bisa dengan cara membangun kesadaran sosial, kesadaran individu, dan kesadaran kolektif yang harus dihembuskan dalam mewujudkan negeri toleransi tanpa harus ada konflik-konflik yang berpotensi memecah belah semangat keummatan serta semangat keagamaan yang mampu melahirkan persatuan (toleransi) dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Menurut hemat penulis, solusi yang paling ampuh hanya dengan kekuatan dua Ormas dalam menjaga persatuan dan perbedaan (spirit bertoleransi). Yaitu, partisipasi Nahdlatul Ulama (NU), dan Muhammadiyah yang merupakan forum keagamaan terbesar di Indonesia serta didirikan oleh dua ulama yang memang kiprah dan perjuangannya patut dihormati. Keduanya adalah kiai Hasyim Asy’ari (pendiri NU) dan kiai Ahmad Dahlan (pendiri Muhammadiyah).

*Penulis adalah Mahasiswa Hukum UIN Jakarta, Alumni SMA-Tahfidz Pondok Pesantren Darul Ulum Banyunanyar Pamekasan Madura

- Advertisement -

BERITA TERKAIT

TERPOPULER