MONITOR, Jakarta – Wakil Ketua DPR RI Fahri Hamzah menilai wajar bila kemudian DPR berencana menggunakan Hak Angketnya terhadap divestasi atau pembelian 51 persen saham PT Freeport oleh pemerintah melalui perusahaan negara yakni PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum).
“Usulan Hak Angket, saya duga pasti terjadi. Kalau pun tidak pada periode ini, tetapi pasti pada periode mendatang. Itu wajarlah,” sebut Fahri Hamzah dihubungi wartawan, Jumat (28/12).
Menurut Fahri, hak angket adalah mekanisme DPR untuk menemukan kebenaran dari kecurigaan yang begitu banyak timbul di publik, mengingat divestasi tersebut penuh dengan kejanggalan, sehingga memunculkan kecurigaan.
“Nah, kejanggalan dalam divestasi itu pasti mendatangkan penggunaan Hak Anget oleh DPR, dan saya setuju supaya kita memiliki ketenangan dalam penggunaan keuangan negara dan kewenangan di dalam negara,” terang politikus PKS tersebut.
Masih kata dia, pada saat kampanye di Pilpres 2014 lalu, Jokowi yang kini menjadi presiden tidak pernah membuat janji politik tentang pembelian saham Freeport, yang ada janji politik adalah pembelian saham Indosat.
“Lagi pula Freeport itu, 2021 sebenarnya akan berakhir, dan diawal-awal pemeritahannya, Jokowi berjanji atau mengatakan tidak akan menyentuh saham Freeport itu karena negosiasi baru bisa dimulai 2019,” paparnya mengingatkan.
Oleh karena itu, Fahri menilai secara periodik itu memiliki makna positif, karena hanya presiden baru yang akan dilantik 2019 lah yang bisa melakukan perpanjangan atau negosiasi perpanjangan tersebut. Sementara presiden-presiden sebelumnya bertugas untuk mengelaborasi data-data teknisnya.
“Tetapi kemudian ada lompatan, dan lompatan ini sangat mencurigakan karena tidak saja pola ini sebenanrya sudah sering terjadi, dan berakhir dengan keriguian dipihak Indonesia,” kata dia.
Tidak hanya itu, sambung Fahri, Inalum itu bukan perusahaan yang punya kekuatan untuk membeli, apabila tidak ada semacam perjanjian politik tertentu dibelakang semua ini, antara pemerintah dengan pemberi utang maupun perusahaan yang diakuisisi.
“Jadi, sekarang kita tahu bahwa yang disebut 51 persen itu adalah kepemilikan yang sepenuhnya dibeli dengan utang. Kemungkinan utangnya diberikan kepada pihak yang membeli, sehingga sebenarnya tidak ada pengambilalihan saham secara mutlak. Tetapi citranya begitu, istilahnya ini pakai nama,” ucap anggota dewan dari NTB itu.
Hal ini lah yang menurut Fahri harus dibongkar, karena tidak saja pembelian tersebut punya kemungkinan kebohongan politik dan kebohongan publik, tetapi juga ada kerugian negara yang besar sekali.
“Harusnya, kalau kita menunggu sampai 2021, petanya tidak akan begini,” pungkas Pimpinan DPR RI Koordinator bidang Kesejahteraan Rakyat (Korkesra) tersebut.