MONITOR, Jakarta – Hari ini, Kamis, 29 Nopember 2018, Korps Pegawai Republik Indonesia (KORPRI) memperingati Hari Ulang Tahun Ke-47. KORPRI pada ulang tahun ke 47 ini, memasuki usia matang dan sangat produktif. Dengan usia ini tidak ada lagi alasan bagi para aparat ASN di republik ini untuk tidak produktif dan tidak memberi pelayanan prima.
Sekalipun kurun waktu empat tahun terakhir ini, secara makro bahwa pelayanan aparat ASN di seluruh Indonesia sudah berubah. Banyak dari mereka telah move on melakukan tugas-tugas dengan baik dan penuh ketulusan. Budaya pelayanan prima semakin bergerak maju. Namun, masihkah ada aparat ASN yang belum move on? Jawabnya ada pada rakyat yang merasakan pelayanan aparat ASN yang mengecewakan. Kemudian, siapakah aparat ASN yang sudah move on itu, dan siapakah aparat ASN yang masih belum move on itu?
Ada dua kategori besar, menurut saya, perilaku aparat ASN kita di negeri ini, yaitu aparat ASN yang melayani (sudah move on) dan aparat ASN yang “minta” dilayani (belum move on). Sebenarnya, kedua kategori ini dapat dengan mudah diidentifikasi berdasarkan simbol-simbol komunikasi yang mereka perankan dalam memberi pelayanan kepada publik.
Sebab, ketika manusia, termasuk antara aparat ASN dengan anggota masyarakat, berelasi (langsung atau tidak langsung) satu sama lain, pertama sekali yang mereka pertunjukkan dan mengirim sinyal dalam bentuk lambang komunikasi non verbal, seperti antara lain sorotan mata, tekanan suara, cara duduk atau berdiri. Baru kemudian disusul dengan lambang komunikasi verbal.
Kategori aparat ASN yang melayani. Bagaimana penggunaan lambang komunikasi bagi kategori aparat ASN yang melayani? Aparat ASN pada kategori ini menggunakan kombinasi lambang komunikasi non verbal maupun verbal yang memberi simpati kepada setiap anggota masayarakat yang membutuhkan pelayanan publik.
Aparat ASN seperti ini sangat berempati membantu menyelesaikan berbagai persoalan yang dihadapi oleh rakyat dalam mengurus kepentingannya yang terkait dengan kementerian atau instansi pemerintahan lainnya. Ini sebagai salah satu ciri komunikasi pelayanan berbasis pada psykologi dan kearifan lokal ke-Indonesia-an kita. Dengan demikian, rakyat akan tertolong dan lega ketika berhadapan dengan aparat ASN. Inilah ciri komunikasi aparat ASN yang melayani.
Dengan pelayanan semacam itu, aparat ASN menjadi bagian solutif semua permasalahan yang dihadapi oleh rakyat. Untuk itu, kerja, kinerja dan pelayanan yang sepenuh hati dari aparat ASN lalu disampaikan ke masyarakat luas. Ini bisa sekaligus menjadi anti tesis dari hoax mengenai pelayanan publik di Indonesia.
Sesungguhnya sosok contoh teladan pelayanan publik yang prima tidak sedikit ditemukan di kementerian dan instansi pemerintah di negara kita. Sebagai testimony, saya punya pengalaman pelayanan publik prima yang luar biasa dari salah satu pejabat teras pemerintahan. Ketika saya menyelesaikan persoalan E-KTP saya yang selama ini belum tuntas, masih dalam tahun ini, saya meminta ke salah satu teman wartawan untuk memperoleh nomor hand phone Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dirjen Dukcapil), yang ketika itu belum saya kenal dan sama sekali belum pernah berkomunikasi dengannya.
Kemudian, saya langsung telepon Dirjen Dukcapil dengan memberitahu persoalan yang saya ingin selesaikan, tanpa memperkenalkan diri saya lebih jauh. Dirjen Dukcapil langsung memberi respon sangat-sangat solutif dan tuntas. Hari itu juga, E-KTP saya bisa dicetak di salah satu dinas kependudukan daerah tingkat dua yang terjaring dengan internet. Saat itu juga E-KTP saya peroleh. Belakangan baru saya tahu bahwa nama Dirjen Dukcapil, Prof. Dr. Zudan Arif Fakrulloh, SH., MH..
Sebelumnya, saya mengikuti di berbagai media, di bawah kepemimpinan pelayanan Zudan Arif Fakrulloh, Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil telah menuntaskan berbagai persoalan E-KTP yang terjadi pada rezim pemerintahan sebelumnya. Karena itu, menurut saya, Zudan Arif Fakrulloh, sangat pantas dipertimbangkan sebagai sosok role model pelayanan publik di Indonesia.
Kategori aparat ASN yang “minta” dilayani. Bagaimana penggunaan lambang komunikasi bagi kategori aparat ASN yang “minta” dilayani? Seluruh lambang komunikasi, baik non verbal maupun verbal, yang digunakan aparat ASN merepresentasikan dirinya seolah pemilik kementerian atau instansi pemerintahan. Mereka berperilaku seperti baginda raja yang dilayani. Itu dapat terjadi, misalnya, ketika aparat ASN tidak menjadi bagian solutif bagi rakyat mengurus sesuatu di kementerian atau instasi pemerintahan lainnya. Lebih parah lagi bila aparat ASN itu sebagai bagian dari masalah dari seluruh proses pengurusan kepentingan publik.
Bila rakyat pulang dengan membawa kekecewaan dan setumpuk masalah pelayanan yang kurang baik dari aparat ASN, dapat dipastikan rakyat kecewa dan bisa menjadi malas mengurus kepentingannya di kementerian dan instasi pemerintahan lainnya. Lebih jauh lagi bisa menimbulkan masalah, bila rakyat yang bersangkutan menceritakan kekecewaanya tersebut kepada orang lain (teman dan tetangga), bahkan bila disampaikan melalui sosial media dengan menggunakan simbol-simbol non verbal, namun publik bisa menangkap makna di balik simbol tersebut. Kekecewaan tersebut bisa terjadi karena kurangnya rasa empati dari aparatur ASN tertentu. Kategori perilaku aparat ASN seperti ini berpotensi besar menimbulkan maraknya perilaku koruptif di kementerian dan instansi pemerintahan lainnya.
Jadi, untuk mewujudkan reformasi komunikasi pelayanan di kementerian dan insataasi pemerintahan lainnya sangat tergatung dari perilaku para aparat ASN itu sendiri. Apakah pelayanan dari aparat ASN bagian dari solusi atau bagian dari masalah dalam pelayanan publik kepada seluruh rakyat Indonesia. Jadi, kata kunci ada di sumberdaya manusia (SDM) aparat ASN yang sejatinya memilik integritas kukuh dan sebagai pengabdian melayani rakyat dengan ketulusan.