MONITOR, Jakarta – 31 tahun silam, tepatnya 19 Oktober 1987, tragedi Bintaro yang memakan ratusan korban jiwa masih diingat banyak orang. Dua kereta, KA255 jurusan Rangkasbitung – Jakarta dan KA 220 cepat jurusan Tanahabang – Merak bertabrakan dekat stasiun Sudimara, Bintaro.
Peristiwa itu terjadi persis pada jam sibuk, saat banyak orang akan berangkat kerja. 156 orang tewas dan 300 orang luka-luka. Peristiwa itu merupakan yang terburuk setelah peristiwa tabrakan kereta api tanggal 20 September 1968 yang menewaskan 116 orang.
Tragedi Bintaro bermula dari kesalahpahaman kepala Stasiun Serpong yang memberangkatkan KA 225 dengan tujuan Jakarta Kota. Kereta itu berangkat menuju Sudimara tanpa mengecek kondisi di stasiun.
Akibatnya, tiga jalur kereta yang berada di Stasiun Sudimara penuh akibat kedatangan KA 225. Tanpa komunikasi yang baik antara Stasiun Sudimara, KA 220 yang berada di Stasiun Kebayoran juga diberangkatkan.
Kereta ini berada di jalur sebaliknya, yang mengarah ke Sudimara. Kondisi itu memaksa juru langsir di Sudimara segera memindahkan lokomotif KA 225 menuju jalur tiga. Karena ramainya jalur kereta, masinis tak dapat melihat semboyan dari juru langsir.
Namun, KAA 225 yang seharusnya pindah rel tiba-tiba berangkat. Semboyan 35 dilakukan. Upaya dari juru langsir dan dan PPKA untuk menghentikan KA 225 sia-sia. KA 225 yang membawa tujuh gerbong akhirnya “adu banteng” dengan KA 220 di Desa Pondok Betung.
Pukul 06.45 WIB, kedua kereta ini bertabrakan. KA 220 dengan kecepatan 25 kilometer per jam, sedangkan KA 225 dengan kecepatan 30 kilometer per jam. Keduanya ringsek. Setelah peristiwa itu, beberapa petugas yang berada di stasiun dan masinis kereta diperiksa. Mereka kemudian dijatuhi hukuman akibat kelalaiannya.
Korban jatuh begitu banyak karena kedua kereta itu sarat penumpang. Dari catatan Perusahaan Jawatan Kereta Api (PJKA), saat itu KA 225 membawa 700 penumpang dan KA 220 membawa 500 penumpang. Itu hanya yang tercatat membeli karcis. Ada ratusan penumpang gelap yang berdesakan memenuhi gerbong, lokomotif, dan atap gerbong.
Akibat tabrakan hebat itu Slamet terlempar hingga ke belakang jok masinis. Giginya rontok terhantam handle rem kereta, kaki kanannya patah, dan kulit pinggulnya robek. Sejak itu kesadarannya hilang dan baru terbangun ketika sudah dirawat di RS Kramat Jati.
Kondisi lokomotif dan gerbong yang ringsek sungguh menyulitkan evakuasi korban. Banyak dari mereka yang selamat mengalami luka berat seperti Slamet dan Juned. Mereka yang tewas pun setali tiga uang, bahkan ada yang sampai sulit dikenali.
Rusmin Nurjadin, menteri perhubungan kala itu, segera menginstruksikan Gabungan Penyelidikan Peristiwa Kecelakaan Kereta Api (Gappka) mengusut tuntas penyebab tabrakan. Menteri Rusmin juga memerintahkan pengecekan jadwal kereta api di seluruh Indonesia.
Pada akhir Oktober 1987, empat pegawai PJKA diputus bersalah. Mereka adalah Slamet Suradio, Jamhari, Umriyadi, dan kondektur KA 225 Adung Syafei. Pada April tahun berikutnya, mereka berempat mulai disidang. Slamet kemudian divonis lima tahun penjara, Adung Syafei dihukum 2,5 tahun penjara, sementara Umriyadi dan Jamhari masing-masing dihukum 10 bulan penjara.
Kisah memilukan ini sempat diabadikan ke dalam sebuah film dengan judul yang sama “Tragedi Bintaro”, untuk mengenang para korban dan berharap agar peristiwa ini tak terulang lagi.